Sabtu 10 Jun 2017 00:16 WIB

Kejagung Hormati OTT Jaksa Kejati Bengkulu

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat konferensi pers rilis OTT di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (6/6).
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat konferensi pers rilis OTT di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (6/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung menghormati operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap salah satu jaksa di Kejaksaan Tinggi Bengkulu. Penangkapan jaksa itu terkait dugaan korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait proyek-proyek di BWS VII Sumatera Bengkulu.

"Bapak Jaksa Agung memerintahkan saya untuk berkoordinasi terkait operasi tangkap tangan salah satu jaksa di Kejati Bengkulu. Kejaksaan sangat menghormati proses penindakan KPK dan akan memfasilitasi segala sesuatu terkait proses itu," kata Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung Widyo Pramono saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Jumat (9/6).

Widyo menyatakan dia selaku Jamwas dan jajaran di Kejaksaan Agung lainnya tidak henti-hentinya untuk berupaya agar jaksa tidak bermain-main di dalam penanganan penyelesaian suatu perkara. "Saya keliling Indonesia berupaya untuk mencegahnya. Kalau ini terjadi, maka kami hormati proses yang ada," kata Widyo.

Ia pun meminta izin kepada pimpinan KPK agar Jamwas juga dapat melakukan pemeriksaan secara administrasi terkait pelanggaran disiplin pegawai negeri yang dilakukan salah satu jaksa di Kejati Bengkulu itu. "Dan untuk itu pimpinan KPK sangat membantu juga untuk itu sehingga ini hal yang baik," ucap Widyo.

KPK menetapkan tiga orang tersangka tindak pidana korupsi suap terkait pengumpulan data atau bahan keterangan atas pelaksanaan proyek-proyek di Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera VII di Provinsi Bengkulu Tahun Anggaran 2015 dan 2016.

"KPK menggelar operasi tangkap tangan di Bengkulu pada Jumat dinihari sekitar pukul 01.00 WIB atas informasi dari masyarakat adanya dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait proyek-proyek di BWS VII Bengkulu," kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Jumat.

Lebih lanjut, Basaria menjelaskan bahwa tim KPK mengetahui adanya rencana penyerahan uang dari Pejabat Pembuat Komitmen (PKK) BWS Sumatera VII Bengkulu Amin Anwari (AAN), Direktur PT Mukomuko Putra Selatan Manjuto (MPSM) Murni Suhardi (MSU) kepada Kasi Intel Kejati Bengkulu Parlin Purba (PP).

"Selain mengamankan ketiganya, tim juga mengamankan uang sejumlah Rp10 juta di lokasi. Uang itu dalam pecahan Rp100 ribu dan dimasukkan ke dalam amplop coklat," kata Basaria.

Selanjutnya, kata Basaria, ketiga orang itu menjalani pemeriksaan awal di Polda Bengkulu dan sekitar pukul 13.00 WIB tim bersama ketiga orang yang diamankan itu tiba di gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan lanjutan. "Diindikasikan ini bukan pemberian yang pertama. Sebelumnya diduga telah diterima uang sebesar Rp 150 juta dari proyek-proyek di Provinsi Bengkulu," ucap Basaria.

Untuk kepentingan pengamanan barang bukti, KPK melakukan penyegelan sejumlah lokasi. Antara lain ruangan Kepala BWS Sumatera VII Bengkulu, ruangan Kabag TU BWS Sumatera VII Bengkulu, ruangan PPK, ruangan Kasi III Bidang Intelijen Kejati Bengkulu, dan ruangan Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Bengkulu.

Setelah melakukan pemeriksaan 1x24 jam dilanjutkan gelar perkara, disimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait proyek-proyek di BWS VII Sumatera Bengkulu, KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan serta menetapkan tiga orang tersebut sebagai tersangka. Sebagai pihak yang diduga pemberi, Amin Anwari dan Murni Suhardi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahub 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal itu yang mengatur mengenai memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

Ancaman hukuman minimal satu tahun penjara dan maksimal lima tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp 250 juta pun mengintai. Sementara sebagai pihak yang diduga penerima Parlin Purba disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah. Padahal diketahui atau patut diduga hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal empat tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara. Sedangkan dendanya paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

KPK pun berharap kasus tersebut bisa menjadi pembelajaran yang baik bagi rekan-rekan aparat penegak hukum di daerah. Agar tidak main-main dalam pelaksanaan tugas dan tidak menjadikan pelaksanaan tugas sebagai senjata untuk mendapatkan sesuatu.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement