REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Jaksa Agung Amerika Serikat (AS) Jeff Sessions mengatakan akan hadir di hadapan senat untuk memberi tanggapan atas kesaksian mantan direktur FBI James Comey. Ia dijadwalkan bertemu dengan Komite Intelijen Senat pada Selasa (13/6) mendatang.
"Ini sangat penting sekaligus kesempatan bagi saya untuk menangani masalah ini dalam forum senat yang berkepentingan," ujar Sessions dalam sebuah pernyataan, dikutip BBC, Sabtu (10/6).
Meski demikian, ia mengatakan dalam surat Wakil Jaksa Agung Rod Rosenstein akan mewakili dirinya untuk memberi tanggapan atas kesaksian Comey. Sebelumnya, Sessions pernah diminta untuk tidak lagi terlibat dalam penyelidikan FBI atas dugaan campur tangan Rusia. Hal itu karena ia juga diduga pernah bertemu dengan pejabat Moskow selama beberapa kali pada tahun lalu.
Comey sebelumnya memberi kesaksian ia pernah meminta Sessions mencegah adanya percakapan langsung antara dirinya dan Presiden AS Donald Trump. Ia juga menuturkan upaya penyelidikan dugaan campur tangan Rusia dalam pemilu di Negeri Paman Sam November 2016 telah dilemahkan oleh Trump.
Menurut Comey, Trump telah berbohong dan mencemarkan nama baiknya dan FBI. Selama lebih dari dua jam memberi kesaksian, pria berusia 56 tahun itu juga mengatakan kepada Komite Intelijen Senat Trump mencoba memintanya menghentikan penyelidikan terhadap mantan penasihat keamanan nasional AS Michael Flynn pada Februari lalu.
Dalam sesi tanya jawab dengan Komite Intelijen Senat, Comey menegaskan Trump adalah presiden yang tidak dapat dipercaya. Ia meyakini dirinya dipecat karena kasus penyelidikan Rusia dan dianggap dapat membahayakan kepentingan pemerintahan Trump.
Meski demikian, ia mengatakan ada beberapa informasi yang tak dapat disebutkan dalam sesi tanya jawab tersebut. Comey nampaknya memiliki informasi sensitif yang hanya dapat dikemukakan melalui sesi tertutup tanya jawab dengan Senat AS.
Dalam surat pemecatan terhadap Comey pada 9 Mei lalu, Trump menyebut diperlukan kembali kepercayaan publik terhadap FBI. Comey dianggap mencederai jalannya pemilu AS tahun lalu dengan membuka penyelidikan skandal surat elektronik Hillary Clinton.
Keputusan yang diambil oleh pria berusia 70 tahun itu membuat banyak orang meyakini Gedung Putih berusaha mengintervensi FBI di tengah penyelidikan tentang campur tangan Rusia. Sejumlah politikus dari Partai Demokrat menilai Trump melakukan langkah yang sama dengan mantan presiden AS Richard Nixon pada 1973.
Saat itu, pemecatan terhadap seorang jaksa independen yang ditugaskan untuk menyidik kasus skandal Watergate dilakukan. Badan intelijen AS hingga saat ini nampaknya meyakini Rusia mencoba mencampuri pemilu AS 2016 untuk mendukung Trump, termasuk dalam dugaan peretasan yang dilakukan selama proses pemungutan suara berlangsung.
Saat ini mantan direktur FBI Robert Mueler telah ditetapkan menjadi penasihat khusus untuk mengawasi penyelidikan kasus tersebut. Penunjukkan ini diapresiasi banyak pihak.