REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satgas Pangan Bareskrim Polri menangkap Direktur Utama PT Garam Achmad Boediyono pada Sabtu (10/6) kemarin. Achmad diduga melakukan kecurangan dengan mengganti nomor jenis garam agar mendapatkan izin importasi dari Kementerian Perdagangan.
"Dia mengubah kode barangnya dari 91 (garam konsumsi) menjadi 92, yaitu garam industri," ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Ahad (11/6).
Agung memaparkan, peristiwa ini bermula dari pemerintah yang memberitahukan sebanyak 226 ribu ton kebutuhan garam konsumsi nasional. Sehingga PT Garam mengajukan diri untuk merealisasikan 75 ribu ton untuk garam konsumsi tersebut. "Yang bersangkutan sudah dua kali mengajukan importasi garam konsumsi sejumlah 75 ribu ton dengan mendapatkan surat persetujuan impor (SPI) nomor 42 dan 43," ungkapnya.
Surat nomor 42 dan 43 adalah surat persetujuan impor untuk garam konsumsi dengan kode barang 91. Namun, peraturan Kementerian Perdagangan sejak 1 Maret 2017 mengatur tentang penetapan sistem klasifikasi barang dan pembenahan tarif bea masuk sehingga importasi garam konsumsi dikenakan bea masuk sebesar 10 persen. "Kerugian negara kita rumuskan atas tidak dibayarnya bea masuk 10 persen saja kita bisa menghitung ada Rp 3,5 miliar yang tidak dibayar oleh yang bersangkutan," kata Agung.
Pada saat itu, untuk memenuhi target 75 ribu ton garam konsumsi, AB mengadakan lelang kepada perusahaan-perusahaan asing. Diketahui ada delapan perusahaan yang mengikuti lelang tersebut dan hanya dua yang dipilih oleh PT Garam, yakni satu dari India dan satu dari Australia.
Sayangnya, dua perusahaan tersebut adalah perusahaan garam industri, sedangkan SPI yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan untuk garam konsumsi. Sehingga AB kembali mengajukan surat kedua dengan mengubah kode 91 menjadi 92 sehingga diterbitkanya SPI nomor 45. "Karena nggak bisa diambil dia mengajukan lagi yang nomor 45 itu. Dia mengubah kode barangnya menjadi 92, yaitu garam industri," kata Agung.
Atas perubahan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan surat kepada Kemendag. Sehingga rencana AB ini kemudian direalisasikan dengan mengimpor 75 ribu ton garam industri. "Ini jelas hal yang melanggar," kata Agung.
Atas perbuatan ini, AB dijerat dengan Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Pasal 3 UU tindak pidana korupsi. Kemudian dikenakan juga Pasal 3, 5 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan hukuman 20 tahun penjara.