REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyatakan kepolisian terlihat tidak terlalu memiliki kemauan untuk mengusut tuntas kasus teror penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.
"Jadi memang ada kemampuan, ada kemauan. Jadi dia (polisi) ini tidak optimal di kemauan. Kenapa, banyak faktor. Kalau lihat sejarah perjalanan KPK, polisi pernah menjadi buaya, pernah jadi kontranya KPK. Saya kira itu nggak bisa dilupakan begitu saja," kata dia saat di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) di Kalibata, Jakarta Selatan, Ahad (11/6).
Seharusnya, menurut Fickar, kasus teror terhadap Novel ini tidak dipandang sebagai teror kepada pribadi Novel, tapi teror kepada penegak hukum. Jika dipandang sebagai teror kepada Novel, maka pengusutan kasus akan berjalan lamban. Sebaliknya, bila dipandang sebagai teror terhadap penegak hukum, selayaknya kepolisian segera mengusut tuntas. "Kalau itu sudah dipandang sebagai teror kepada penegak hukum, semestinya polisi nggak usah digoyang-goyang (didorong) oleh masyarakat. Karena itu, ada kapasitas dan ada willing, dan ada political will yang saya kira harus kita dorong terus," ucap dia.
Kasus penyiraman Novel dengan air keras yang terjadi pada 11 April lalu belum juga menemukan titik terang. Polisi sebagai pihak pengusut kasus tersebut belum mampu menguak dalang di balik teror terhadap Novel itu. Padahal proses pengusutan sudah memakan waktu hingga dua bulan. Novel, yang terkena siraman air raksa, hingga kini masih dirawat intensif di Singapura.