Senin 12 Jun 2017 05:45 WIB

Pengamat: Aroma Politis Hak Angket ke KPK Sulit Dihindari

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Bayu Hermawan
Anggota Pansus Hak Angket KPK (ilustrasi)
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Anggota Pansus Hak Angket KPK (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Laboratorium Politik Indonesia Mohammad Hailuki menilai keputusan DPR membentuk Pansus Angket secara legal formal tidak melanggar UU. Sebab parlemen memiliki hak konstitusional untuk mengawasi semua lembaga, khususnya yang mendapat alokasi APBN yang diputuskan oleh DPR melalui hak anggaran yang dimiliki.

"Namun pembentukan Pansus angket di tengah penyidikan KTP-el oleh KPK terhadap sejumlah politisi anggota dan mantan anggota DPR menimbulkan aroma politis yang sulit dihindari," katanya dalam keterangan pers yang diterima, Senin (12/6).

Hal itu kemudian menimbulkan anggapan bahwa DPR sedang berupaya melemahkan KPK. Publik pun bertanya terkait penting tidaknya pembentukan Pansus Angket KPK. Karena, pansus sendiri memiliki kewenangan yang besar dalam melakukan penyidikan dan menyatakan pendapat.

Meski begitu, diakui Hailuki, sejumlah fraksi di DPR seperti Demokrat, PKB, dan PKS mengambil sikap menolak terlibat dalam pansus angket KPK. Hal ini menunjukkan bahwa parlemen tidak satu suara sehingga tidak bisa digeneralisir bahwa DPR bermufakat untuk melemahkan KPK.

Menurut Hailuki, pengawasan yang dilakukan DPR terhadap KPK harus diletakkan secara proporsional bahwa KPK sebagai lembaga yang menerima alokasi anggaran dari DPR dan pimpinannya dipilih oleh DPR, sudah sewajarnya diawasi oleh DPR. Terlebih banyak pandangan kritis terhadap KPK terkait penanganan kasus yang terkesan tebang pilih.

"Untuk itu, karena KPK bukan lembaga politik maka tidak perlu menyikapi pembentukan pansus angket secara politis. Sedangkan DPR melalui pansus angket pun harus fokus dan lurus kepada pengawasan pengelolaan anggaran dan kinerja KPK tanpa mempolitisir kepada hal-hal lain," ucapnya.

Jika pansus angket DPR tidak fokus dan lurus bekerja, maka publik khawatir ujung dari angket tersebut adalah pelemahan KPK. Bahkan pansus angket bisa melumpuhkan KPK dengan dasar penyalahgunaan anggaran penegakan hukum. Pada posisi inilah bisa menimbulkan instabilitas politik.

Terlepas dari kinerjanya, KPK masih mendapat kepercayaan publik yang besar. Sudah semestinya partai-partai politik yang memiliki fraksi di DPR menangkap aspirasi rakyat tersebut dan bukan malah mengabaikannya.

Apabila parpol mengabaikan suara publik akan berakibat berkurangnya kepercayaan publik terhadap sistem politik. Jika itu terjadi maka bisa menggagalkan konsolidasi demokrasi Indonesia.

Sebab, demokrasi yang sehat mensyaratkan adanya komitmen politik yang kuat dalam penegakan hukum termasuk pemberantasan korupsi. Komitmen ini terutama dari partai politik khususnya partai-partai berkuasa yang ironisnya mereka justru saat ini menjadi motor utama pansus angket KPK.

Kendati demikian, lanjut Hailuki, apapun keputusan Pansus Angket KPK pada akhirnya tetap harus dijalankan oleh pemerintah yang notabene di dalamnya juga dijalankan oleh koalisi partai politik pengusul pansus angket.

"Sehingga semua kembali bermuara kepada elite PDI-P, Golkar, Nasdem, Hanura, PKB, PAN, dan PPP mau seperti apa ending dari ini semua. Kita hanya berpesan, dengarkan sanubari rakyat," ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement