Senin 12 Jun 2017 21:12 WIB

Israel Kurangi Pasokan Listrik di Jalur Gaza

Rep: Puti Almas/ Red: Agus Yulianto
Pembangkit Listrik di Gaza
Foto: maannews
Pembangkit Listrik di Gaza

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Pemerintah Israel akan mengurangi pasokan listrik di Jalur Gaza, Palestina. Hal ini dilakukan setelah tidak lagi dilakukan pembayaran atas sumber daya energi tersebut.

Pada April lalu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan bahwa pemerintah tidak lagi akan membayar tagihan listrik di Jalur Gaza. Selama ini, wilayah itu dikuasai faksi politik Gerakan Perlawanan Islam (Hamas).

Hamas selama ini berlawanan dengan pemerintahan Otoritas Palestina (PA) yang meyoritas berasal dari faksi Fatah. Langkah yang diambil Abbas, dinilai memperburuk krisis energi di Jalur Gaza yang membuat warga sipil di sana harus beraktivitas dan memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa listrik.

Kabinet Israel pada Ahad (11/6) kemarin memutuskan, untuk menerima keputusan Abbas. Diperkirakan dampak kemanusiaan akan hal ini dapat terjadi lebih buruk, bahkan dibandingkan satu dekade lalu.

Sejak satu dekade lalu, warga Palestina di Jalur Gaza mengalami krisis listrik karena Israel dan Mesir menerapkan blokade. Kemudian, hal ini diperburuk dengan perang di wilayah itu selama 51 hari pada 2014.

Warga di jalur Gaza saat ini hanya mendapat jatah empat jam listrik per hari. Dalam pengurang pasokan energi itu, Israel disebut akan memotong lagi sebanyak 45 menit.

Menteri Keamanan Publik Israel Gilad Erdan mengatakan bahwa pengurangan pasokan listrik terbaru di Jalur Gaza tidak akan memicu konflik yang berbahaya. Ia berpendapat sudah saatnya warga sipil di wilayah itu sadar terhadap konsekuensi kekuasaan Hamas.

"Keputusan ini tidak akan menyebabkan sebuah konfrontasi militer. Justru, mungkin warga Palestina sadar malapetaka yang datan karena Hamas," ujar Erdan dilansir The Telegraph, Senin (12/6).

Sementara itu, beberapa pejabat Israel lainnya menolak berkomentar mengenai adanya keputusan pengurangan pasokan listrik terbaru di Jalur Gaza. Beberapa diantara mereka juga mengatakan bahwa berita yang beredar tidak benar.

Bahkan, sejumlah pejabat Israel menilai tidak seharusnya mereka ikut campur dalam konflik internal Palestina. Keputusan Abbas untuk tidak membayar tagihan listrik di Jalur Gaza adalah menekan Hamas yang menentang PA.

Konflik antara Fatah dan Hamas dimulai untuk pertama kalinya pada 2006 lalu. Perang saudara antara dua faksi terjadi, di mana pertikaian meruncing setelah Hamas memenangkan pemilihan legislatif.

Hamas kemudian menguasai Jalur Gaza. Sebelumnya, ketegangan antara Hamas dan Fatah meningkat pada 2005, tepatnya sejak kematian Presiden Palestina Yasser Arafat pada 11 November 2004.

Sejak 2006, tidak pernah dilakukan pemilihan umum di Palestina. Rencananya, pemilu kembali akan dilangsungkan tahun lalu di wilayah Tepi Barat. Namun, Otoritas Palestina yang didominasi oleh Fatah menunda hal ini.

Tiga tahun yang lalu, tepatnya pada 2014 langkah rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas juga telah dilakukan. Kedua faksi sepakat bersatu dan Jalur Gaza diambil alih kembali oleh Otoritas Palestina.

Hamas saat itu juga menyetujui pembentukan negara Palestina sesuai dengan perbatasan 1967 lalu. Kemudian, kelompok itu menyetujui rencana Abbas dalalm berbagai hal untuk mendorong pemerintahan Palestina bersatu.

Kemudian pemerintah konsensus nasional teknorat mulai beoperasi pada 2 Juni 2014. Namun, sekitar satu bulan setelahnya, kedua faksi kembali terpecah dengan adanya perang antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza.

Fatah dan Hamas saat itu disebut kembali ke titik awal, yaitu terpecah untuk membentuk sebuah pemerintahan Palestina yang bersatu. Masing-masing faksi juga saling tuding bahwa pelanggaran telah dilakukan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement