Rabu 14 Jun 2017 19:05 WIB

Pencabutan Subsidi Listrik Kontraproduktif Bagi Perekonomian

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Nidia Zuraya
Kenaikan tarif listrik (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Kenaikan tarif listrik (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencabutan subsidi listrik bagi 18,7 juta rumah tangga pelanggan golongan R-1 atau 900 VA, membuat hidup masyarakat yang sudah susah semakin menderita. Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menilai, pemerintah tak peka terhadap kondisi rakyat.

Kenaikan tarif listrik ini dilakukan tanpa proses sosialisasi, tanpa persetujuan atau konsultasi dengan DPR. Semua dilaksanakan secara sepihak oleh pemerintah.''Pemerintah tak peka terhadap kondisi masyarakat dan terkesan tidak memikirkan dampak ekonomi yang bisa ditimbulkan oleh kebijakan tersebut,'' ucap Fadli, dalam siaran persnya, Rabu (14/6).

Sebab, lanjut dia, keputusan tersebut diambil di tengah lesunya perekonomian, sehingga kebijakan pencabutan subsidi itu justru akan makin memperlemah pertumbuhan ekonomi. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini 54-56 persen disumbang oleh konsumsi domestik, kemudian disusul oleh investasi yang porsinya sekitar 32 persen, dan baru oleh belanja negara sebesar 9 hingga 10 persen. Sisanya disumbang oleh net ekspor, yang angkanya bisa positif maupun defisit.

Pencabutan subsidi listrik itu besar dampaknya, kata Fadli, karena pasti akan melemahkan daya beli masyarakat.Terbukti, kuartal pertama 2017 angka pertumbuhan konsumsi rumah tangga Indonesia turun, dengan hanya mencapai 4,8 persen, lebih rendah dibanding kuartal yang sama tahun lalu.

''Padahal konsumsi rumah tangga ini merupakan kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi,'' kata Fadli.

Sementara bagi kalangan pengusaha, jika daya beli masyarakat melemah, efeknya adalah tak akan ada ekspansi bisnis, yang pada ujungnya membuat perekonomian jadi stagnan. Ia mengakui, sejak beberapa bulan lalu para pengusaha, baik yang bergerak di sektor properti, otomotif, maupun ritel, sudah mengeluhkan penurunan daya beli masyarakat ini.

Ia mencontohkan, jika biasanya pada bulan Ramadhan terutama mendekati Lebaran, terjadi lonjakan konsumsi antara 30 hingga 40 persen. Namun, hingga pekan ketiga Ramadhan tahun ini kenaikan konsumsi hanya mencapai 10 hingga 15 persen saja. ''Sangat rendah, tak ada peningkatan berarti,'' jelas Fadli.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement