REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Banyak bank sampah di Kota Yogyakarta belum bisa dikelola secara mandiri. Bahkan mayoritas bank sampah masih membutuhkan pendampingan khusus.
Tak jarang, karena kurangnya pendampingan, banyak bank sampah yang muncul kemudian mati suri. Hal ini disampaikan Bambang Suwerda, penggagas Bank Sampah Indonesia di DIY saat menjadi pembicara di Forum Focus Group Discussion (FGD) tentang sampah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis (15/6).
Data Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta , kata dia, mencatat dari 615 RW yang ada baru 60 persennya yaitu 405 RW yang telah memiliki dan mengelola bank sampah. "Dari jumlah tersebut tidak semua bisa mengelola sampah secara mandiri. Mereka sebagian besar masih membutuhkan pendampingan secara khusus. Bahkan ada diantaranya yang justru mati suri," ujarnya.
Diakuinya, dalam pengelolaan bank sampah dibutuhkan proses yang panjang, serta pelaksanaannya memakan waktu. Karenanya kata dia, harus ada pendampingan yang paham terkait pengelolaan bank sampah. Pasalnya jika tidak ada pendampingan maka dikhawatirkan bank sampah yang ada justru akan mati.
Mneurutnya, bank sampah yang ada saat ini sebagian besar masih sekedar kumpul-kumpul sampah. Kemudian dijual bersama dan belum ada pendampingan bagaimana cara pengelolaannya hingga bernilai ekonomis.
Namun kata dia, meski bank sampah yang dikelolanya belum memberikan peningkatan ekonomi secara signifikan, tetapi warga yang menjadi nasabah bank sampah memiliki tambahan penghasilan. Meskipun demikian, masih banyak masyarakat yang kurang termotivasi untuk menabung sampah yang dimilikinya.
“Jika kita lihat pada TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di Piyungan, akan berdampak pada konflik sosial apabila tidak segera dibenahi. Sampah yang tercampur (organik ataupun anorganik, red) akan berdampak pada kesehatan penduduk sekitar. Terlebih lagi banyak sapi yang mencari makan dari sisa-sisa yang ada di TPA tersebut, ini tentu menimbulkan penyakit,” ujarnya.
Diakuinya, di beberapa wilayah di Indonesia telah menerapkan kebijakan bank sampah. Bambang menyebutkan di kota Yogyakarta telah ada satu RW-satu bank sampah. Di Kabupaten Bantul memiliki satu desa-satu bank sampah. Di Kabupaten Sleman memiliki Operasi Tangkap Tangan (OTT) pembuang sampah. Di Pemkot Makassar, kenaikan pangkat PNS ditandai dengan bukti tabungan bank sampah.
Di Desa Sekumpul, Martapura jika cari KTP harus nabung sampah. Sementara di Kota Depok apabila tidak dipilah sampah yang ditabungkan, maka hasilnya tidak dapat diambil.
“Meskipun peranan undang-undang nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah yang seharusnya menjadi kewenangan Pemda belum dilaksanakan keseluruhan, namun di beberapa wilayah di Indonesia telah menerapkan kebijakan bank sampah,” terangnya.
Permasalahan sampah yang menjadi masalah krusial di Indonesia, khususnya di wilayah Yogyakarta tersebut menjadikan tim penelitian dari dosen Fakultas Hukum UMY untuk mencoba mengkaji pengelolaan sampah bernilai ekonomis.
Pada pemaparan Yeni Widyowaty, selaku ketua peneliti memaparkan, penelitian yang mengambil sampel di Bantul, Kota Yogyakarta, dan Sleman menghasilkan bahwa dalam pengelolaan sampah belum maksimal. Menurut Yeni, masyarakat masih banyak yang bertumpu pada pembuangan sampah akhir, tanpa memandang sampah sebagai sumber daya yang memiliki nilai ekonomis.
“Seharusnya kita bisa belajar dari konsep pengelolaan sampah dengan melakukan perbandingan dengan negara lain, seperti Jepang dan Singapura. Dari negara tersebut Indonesia seharusnya dapat juga menerapkan pengelolaan sampah yang idealnya diserahkan ke pihak swasta yang benar-benar faham masalah lingkungan," ujarnya.
Menurutnya, sampah dapat didaur ulang oleh pihak swasta maupun masyarakat, sehingga peningkatan nilai ekonomi juga ada pada masyarakat. Pada pengelolaannya lanjutnya, pihak swasta mengolah sampah yang berasal dari perusahaan, kantor-kantor pemerintah, pertokoan, maupun mall. Selanjutnya sampah rumah tangga dapat diolah masing-masing kelompok bank sampah.