REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil survei teranyar soal perilaku antikorupsi masyarakat Indonesia. Dari skala 0 sampai 5, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) masyarakat Indonesia bernilai 3,71.
Angka ini mengalami kenaikan dibanding nilai IPAK tahun 2015 lalu sebesar 3,59. Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin antikorupsi. Sebaliknya, mendekati angka 0 maka perilaku masyarakat semakin permisif terhadap korupsi.
Deputi Statistik Sosial BPS Sairi Hasbullah mengungkapkan, dalam survei diketahui bahwa ternyata masyarakat perkotaan lebih antikorupsi dibanding masyarakat desa. Hal ini terlihat dari nilai IPAK masyarakat perkotaan sebesar 3,86, lebih tinggi dibanding IPAK masyarakat desa sebesar 3,53. Ia menjelaskan bahwa lebih tingginya skor antikorupsi di kota yang lebih tinggi dibanding desa berkaitan langsung dengan tingkat pendidikan masyarakatnya.
Ternyata, hasil survei IPAK juga mencatat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat maka semakin tinggi pula pandangan antikoruspinya. IPAK penduduk berpendidikan SMP ke bawah tercatat sebesar 3,53. Sementara IPAK untuk SMA dan SMA ke atas masing-masing adalah 3,99 dan 4,09.
"Indeks untuk masyarakat kota selalu lebih tinggi dari desa. Namun, dari tahun ke tahun, indeks baik di kota dan desa sama-sama meningkat," ujar Sairi dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Kamis (15/6).
Namun yang menjadi catatan, BPS kemudian membagi lagi indeks anti-korupsi terhadap dua hal yakni dimensi persepsi atau pendapat masyarakat atas korupsi dan dimensi pengalaman yang menunjukkan pengalaman koruptif masyarakat. Sairi mengatakan, berdasarkan dimensi persepsi terlihat bahwa masyarakat Indonesia semakin antikorupsi.
Terlihat dari angkanya yang terus meningkat sejak 2012 hingga 2017. Namun dari segi pengalaman, terlihat bahwa masyarakat cenderung melakukan tindak korupsi yang semakin sering. Meski perilaku korupsi 'kecil-kecilan' sempat menurun sepanjang 2012 hingga 2016, namun angkanya melonjak lagi pada 2017.
"Artinya, ketidaksukaan masyarakat terhadap korupsi itu tinggi. Namun pengalamannya semakin korup. Atau bahasanya, lain yang diucapkan, lain yang diperbuat," ujar Sairi.
Hal ini menunjukkan bahwa bukan berarti masyarakat kota yang lebih antikorupsi dibanding masyarakat desa, lebih sedikit melakukan tindak korupsi dibanding masyarakat desa. Karena tren yang ada menunjukkan bahwa dari 2016 ke 2017, tindak korupsi kecil yang menyangkut penyuapan, pemerasan, dan nepotisme justru meningkat.