REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Sigit Rochadi mengatakan penegakan hukum untuk penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) terbentur pada rasa kemanusiaan sehingga kurang tegas.
"Kurang tegasnya Satpol PP tidak tega melakukan tindakan kepada mereka, ini masalah hukum dan manusiawi. Tidak melihat penegakan hukum saja, tetapi juga kaca mata manusiawi," ujar dia yang dihubungi di Jakarta, Kamis (16/6).
Dilihat dari kaca mata psikologi dan sosial, masyarakat tidak bisa membedakan tipe pengemis dari yang perlu ditolong dan yang berpura-pura miskin. Menurut dia, terdapat PMKS yang dimotivasi alasan ekonomi sehingga harus ada perlindungan negara secara ekonomi.
Kementerian Sosial dan Dinas Sosial juga harus memberi perlakuan khusus kepada PMKS yang sangat miskin. Selanjutnya terdapat PMKS yang disebabkan mental yang miskin, tetapi sebenarnya secara ekonomi tidak miskin.
"Yang bermental miskin orang yang bisa ditindak dihukum, diidentifikasi secara identitas kalau benar miskin perlu ditolong pemerintah," ujar Sigit.
Selain itu, untuk PMKS yang menjadi korban, seperti anak kecil yang dipekerjakan perlu ditolong, sementara yang memperkerjakannya harus ditindak pidana karena melanggar hak-hak anak.
Untuk membedakan PMKS yang benar-benar membutuhkan, menurut Sigit diperlukan edukasi kepada masyarakat serta LSM agar mendukung petugas menegakkan peraturan daerah.
Ada pun PMKS di DKI Jakarta yang telah dijangkau atau ditangkap beberapa kali oleh petugas Dinas Sosial terancam dipidanakan. Berdasarkan Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007, PMKS diancam dengan pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500 ribu dan paling banyak Rp 30 juta.