REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (Oso) mengatakan partainya mengusulkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 15 persen karena kepala pemerintah harus memiliki dukungan kuat di legislatif.
"Kalau tidak punya atau cukup (dukungan) di parlemen maka tentunya presiden tidak bisa berkomunikasi dengan Parpol," kata Oso disela-sela acara berbuka puasa bersama Partai Hanura dengan anak yatim di Gor Dr Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (16/6).
Oso mengatakan, seorang presiden harus memiliki ukuran dan rekam jejak sehingga tidak sembarang bisa mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia. Penilaian rekam jejak ini dilakukan oleh legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Karena itu, Oso mengatakan presidential threshold nol persen, seperti yang diinginkan oleh beberapa fraksi di DPR RI, merupakan merupakan hal yang tidak mungkin. Menurut Oso jika presiden terpilih dari hasil ambang batas pencalonan nol persen maka tidak memiliki kepatuhan di legislatif. Alhasil, dia akan mendapat kesulitan dalam menjalankan pemerintahan.
Namun, Oso juga menolak usulan pemerintah yang menghendaki ambang batas pencalonan presiden sebesar 25 persen. Oso memahami sikap pemerintah yang tetap ngotot mempertahankan usulannya agar ambang batas capres 20 persen kursi di parlemen.
Artinya, partai yang ingin mencalonkan presiden 2019 harus memperoleh 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara sah nasional. "Itu sah-sah saja," kata Ketua DPD RI itu.
Perdebatan itu mendorong Hanura untuk memilih jalan tengah. Oso menambahkan, Partai Hanura memutuskan mengambil jalan tengah, yaitu 15 persen.