REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- PBB meminta Korea Utara untuk menjelaskan mengapa seorang siswa AS, Otto Warmbier (22 tahun), dipulangkan dalam keadaan koma setelah lebih dari satu tahun ditahan di negara tersebut. Warmbier dilaporkan menderita cedera otak parah dan tidak responsif ketika tiba di Ohio.
"Saat saya menyambut baik kabar pembebasan Warmbier, saya juga prihatin dengan kondisinya, dan pihak berwenang harus memberikan penjelasan yang jelas tentang apa yang membuatnya berada dalam keadaan koma," ujar Tomas Ojea Quintana, penyidik urusan hak asasi manusia (HAM) PBB di Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK), Jumat (16/6).
Ojea Quintana meminta Korea Utara untuk menjelaskan penyebab dan alasan utama pembebasan Otto Warmbier. "Kasusnya berfungsi sebagai pengingat akan implikasi bencana dari kurangnya akses terhadap perawatan medis yang memadai bagi tahanan di DPRK," katanya.
"Cobaan beratnya bisa dicegah jika dia diberi hak dasar saat dia ditangkap, seperti akses ke petugas konsuler dan perwakilan kedutaan oleh penasihat hukum independen yang dia pilih," kata Ojea Quintana.
Keluarga mengatakan, Warmbier mengalami koma sejak Maret 2016, tak lama setelah dia dijatuhi hukuman penjara 15 tahun di Korea Utara. Warmbier, yang berasal dari pinggiran Kota Cincinatti, ditangkap karena dituduh berusaha mencuri sebuah barang yang mengandung slogan propaganda.
Pada Kamis (8/6), Korea Utara mengatakan, mereka telah membebaskan mahasiswa Universitas Virginia ini karena alasan kemanusiaan. Ayahnya, Fred Warmbier, mengatakan anaknya telah dianiaya dan diteror oleh pemerintah Korea Utara. Menurut dia, keluarganya tidak mempercayai cerita Korea Utara bahwa anaknya telah mengalami koma setelah tertular botulisme dan diberi pil tidur.
Korea Utara diyakini telah mengoperasikan kamp-kamp penjara untuk tahanan politik dan tahanan warga negara asing yang juga ditahan karena alasan politik. Dua profesor universitas Amerika di Pyongyang juga ditangkap tahun ini karena diduga merencanakan tindakan melawan negara.