Selasa 20 Jun 2017 07:40 WIB

Peredaran Mi tak Halal karena Ketidaktegasan Pemerintah

Rep: AMRI AMRULLAH/ Red: Indira Rezkisari
Petugas Balai Besar Obat dan Makanan (BPOM) dan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, memeriksa mi Instan di salah satu pusat perbelanjan, di Padang, Sumatera Barat, Senin (19/6).
Foto: Antara
Petugas Balai Besar Obat dan Makanan (BPOM) dan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, memeriksa mi Instan di salah satu pusat perbelanjan, di Padang, Sumatera Barat, Senin (19/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR Zulkifli Hasan menyayangkan masih ditemukannya produk makanan non halal yang dijual secara bebas kepada konsumen muslim di Indonesia. Kasus mi instan asal Korea yang mengandung babi, menurutnya adalah kecolongan yang kesekian kalinya.

"BPOM harus segera bertindak tegas, diberikan hukum yang tegas. Khawatir nanti menimbulkan dampak bagi ekonomi dan kepercayaan publik," kata Zulkifli Hasan ketika ditemui di Komplek Parlemen Senin (19/6).

Dikhawatirkan bila kecolongan ini terus dibiarkan, isu ini bisa dimainkan oleh pihak lain. Menjadi isu liar yang kembali merusak kehidupan sosial masyarakat. "Karena itu perlu segera diambil langkah-langkah tegas," ujarnya.

Pengamat produk halal, Anton Apriyantono menilai masih ditemukannya produk non halal dijual bebas kepada konsumen Muslim di Tanah Air karena tidak adanya larangan dan memang ketidaktegasan pemerintah.

Menurutnya pemerintah harus tegas atas kelalaian ini. Mantan Menteri Pertanian era Presiden SBY ini menyebut hingga saat ini tidak ada aturan perundang-undangan produk non halal tidak bisa masuk ke Indonesia. Kecuali produk daging non halal.

"Ya aturannya memang tidak mengharuskan halal," terangnya. Untuk itu, perlu tanda yang jelas atas produk non halal. Sehingga walaupun produk non halal itu tetap bisa masuk ke Indonesia hanya diperuntukkan bagi kalangan non Muslim, bukan umat Islam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
قَالَ يٰقَوْمِ اَرَءَيْتُمْ اِنْ كُنْتُ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّيْ وَرَزَقَنِيْ مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ اُخَالِفَكُمْ اِلٰى مَآ اَنْهٰىكُمْ عَنْهُ ۗاِنْ اُرِيْدُ اِلَّا الْاِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُۗ وَمَا تَوْفِيْقِيْٓ اِلَّا بِاللّٰهِ ۗعَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَاِلَيْهِ اُنِيْبُ
Dia (Syuaib) berkata, “Wahai kaumku! Terangkan padaku jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan aku dianugerahi-Nya rezeki yang baik (pantaskah aku menyalahi perintah-Nya)? Aku tidak bermaksud menyalahi kamu terhadap apa yang aku larang darinya. Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan selama aku masih sanggup. Dan petunjuk yang aku ikuti hanya dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya (pula) aku kembali.

(QS. Hud ayat 88)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement