Selasa 20 Jun 2017 09:02 WIB

Wisata Halal, Bisnis Miliaran Dolar

Nara sumber Rembuk Republik tentang wisata halal, Mataram, Kamis (8/6),konsultan penerbangan Farshal Hambali, Chairman IITCF  Priyadi Abadi dan Asisten Deputi Pengembangan Segmen Pasar Bisnis  dan Pemerintah Kementerian Pariwisata  Tazbir (dari kiri ke kanan).
Foto: Dok IITCF
Nara sumber Rembuk Republik tentang wisata halal, Mataram, Kamis (8/6),konsultan penerbangan Farshal Hambali, Chairman IITCF Priyadi Abadi dan Asisten Deputi Pengembangan Segmen Pasar Bisnis dan Pemerintah Kementerian Pariwisata Tazbir (dari kiri ke kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fuji Pratiwi

Wisata halal boleh dibilang rahmat Islam bagi semua  manusia. Bagaimana tidak, bisnis ini tidak hanya  bisa dijalankan  oleh Muslim tapi oleh banyak orang selama  ketentuannya dipenuhi. Negara-negara mayoritas non -Muslim di kawasan Eropa, Asia, bahkan Hindia Barat  berlomba dilirik jadi destinasi pelesiran Muslim dunia.

Bicara angka, sektor wisata halal amat menggoda.  Thomson Reuters dan DinardStandard dalam laporan  State of Global Islamic Economic 2016-2017  memprediksi, belanja komunitas Muslim global untuk  wisata mencapai 151 miliar dolar AS pada 2015 dengan  pendapatan industri mencapai 24 miliar dolar AS. Itu pun  dengan mengecualikan perjalanan haji dan umrah.

Dari angka itu, negara-negara Kawasan Teluk (GCC)  yang populasinya hanya tiga persen dari total Muslim  dunia merupakan komunitas Muslim dengan belanja  terbesar untuk wisata yakni 54,39 miliar dolar pada 2015  atau setara 36 persen dari total belanja komunitas  Muslim dunia untuk wisata. Pengeluaran komunitas  Muslim untuk wisata diprediksi akan meningkat menjadi  243 miliar dolar AS pada 2021.

Asisten Deputi Pengembangan Segmen Pasar Bisnis  dan Pemerintah Kementerian Pariwisata Tazbir  menjelaskan, pariwisata sekarang masuk dalam program  prioritas pemerintah. Wisata halal kini adalah bisnis  karena itu Indonesia berkompetisi dengan banyak  negara, terutama negara-negara anggota Organisasi  Kerja sama Islam (OIC) dan negara-negara kawasan  ASEAN.

"Kalau kalah cepat, orang lain yang ambil. Di sisi lain,  harus ada pengukuran untuk menguji peningkatan wisata  halal," kata Tazbir dalam Rembuk Republik dengan tajuk  Kontribusi Wisata Halal dalam Pembangunan Nasional di  Ballroom Masjid Hubbul Wathan Islamic Center Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB),  Kamis (8/6). Diskusi panel yang diadakan dalam rangkaian Pesona Khazanah Ramadhan NTB  itu juga menampilkan nara sumber Chairman Indonesian Islamic Travel Communication Forum (IITCF) Priyadi Abadi dan konsultan penerbangan Farshal Hambali.

Indonesia, kata Tazbir,  juga harus mengukur diri untuk tahu tingkat  daya saing dengan kompetitor. Tim Pengembangan dan Percepatan Pariwisata Halal Kementerian Pariwisata telah merumuskan langkah strategis pada atraksi, amenitas, aksesibilitas, dan promosi terintegrasi di panggung global.

Pengembangan atraksi sudah mulai beragam dengan menampilkan kekhasan daerah. Pun amenitas ramah Muslim yang sudah mulai berkembang meski masih memiliki tantangan pada kesadaran melakukan sertifikasi halal. Sementara aksesibilitas bisa disiasati dengan kerja sama pemerintah dengan lembaga multi nasional atau pemanfaatan instrumen keuangan untuk meningkatkan pembangunan daerah.

Ubah cara pandang

Untuk itu, Tazbir menilai cara pandang pelaku industri wisata halal harus sesuai dengan cara pandang wisatawan. Wisata halal juga jangan dipersempit pada wisata religi, tapi lebih luas dan inklusif. Ini akan memengaruhi pengalaman yang diciptakan dalam memori wisatawan Muslim.

Pengalaman baik mereka akan menaikkan citra Indonesia. Karena itu Tazbir meminta pelaku industri tidak setengah hati memberi layanan bagi wisatawan yang memilih berwisata halal. "Cina dan Jepang membanjiri Indonesia. Indonesia harus  serang balik dengan promosi aktif di pasar-pasar  potensial,"  kata Tazbir.

Originasi wisata halal Indonesia terbilang unik. Sebab,   selain menyasar pasar internasional, pasar wisata halal  domestik juga besar. Tapi, Tazbir mewanti-wanti soal  sertifikat halal.

Penting menunjukkan sertifikat halal atas klaim halal. Saat ini restoran Jepang dan Korea bersertifikat halal sudah mulai banyak. Pelaku bisnis kuliner Indonesia harus siap bersaing dengan sertifikasi halal juga. "Kita tidak boleh mundur ke belakang, tapi buat strategi  untuk maju dan meningkatkan bisnis," kata Tazbir.

Di kawasan ASEAN, Indonesia tak hanya berhadapan dengan Malaysia yang kini masih jadi tujuan utama wisata halal global, tapi juga dengan Singapura dan Thailand. Tazbir mencontohkan Thailand yang benar-benar mengembangkan wisata halal dengan membangun hotel halal berbintang dan dukungan industri pangan halal yang sangat kuat.

Khusus NTB, pengembangan atraksi seperti Pesona  Khazanah Ramadhan merupakan hal bagus. Namun ia  melihat ke depan kegiatan ini harus dikembangkan ke  kabupaten lain sehingga Pesona Khazanah Ramadhan  tidak milik satu tempat dan bisa masif.

Pemerintah Indonesia berharap NTB punya desa-desa  halal di tiap kabupaten boleh atraksi budaya, pantai, atau  gunung yang dikemas menarik dan berbeda. Sebab NTB  harus jadi magnet wisata halal utama Indonesia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement