REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sungguh berat bagi seorang anak kecil yang baru belajar berpuasa, siang hari terasa begitu lama. Tak biasanya ia kelaparan seharian. Di hari biasa, ia akan selalu protes jika jatah uang jajannya kurang. Tapi, selama Ramadhan, tak sedikitpun ia mendapat uang jajan. Kalaupun uang jajan diberi, ke mana ia akan menghabiskannya kala warung makanan ikut tutup.
Namun, ajaib bagi si bocah itu. Kendati ia merasakan haus dan dahaga yang luar biasa, tak satupun makanan yang disentuhnya. Sang orang tua kadang kasihan melihatnya sudah lemah. Mereka terkadang tak tega dan membujuk, "Adek, kalau adek tak kuat, adek boleh berbuka, kok. Besok bisa dicoba lagi." Namun, rayuan orang tua tak sedikitpun menggoyahkan imannya untuk berbuka puasa sampai azan Maghrib berkumandang dan beduk ditabuh.
Demikian hebatnya pendidikan yang diajarkan puasa. Seorang bocah cilik itu tak mengenal apa definisi iman, apa itu Islam, dan seperti apa itu ihsan. Dia belum belajar fikih puasa, tak tahu dalil-dalil berpuasa, apalagi paham bagaimana tasyri' (pensyariatan) berpuasa. Tapi, ia sudah bisa menjalankan puasa dengan sangat baik.
Kendati dahaga sudah mengeringkan tenggorokannya, tak seteguk air pun ia teguk. Kendati dalam kondisi perut yang sangat keroncongan, tak sepotong makanan pun mau ia makan. Walaupun, mungkin tak ada yang tahu kalau ia meminum air agak seteguk, menyantap makanan agak sesuap untuk sekadar pengganjal perut. Tapi, Demi Allah, kecurangan itu tak pernah ia lakukan.
Bocah yang berpuasa itu tahu bahwa kecurangan-kecurangan itu tak pantas ia lakukan. Ia sadar, kendati ia bisa bersembunyi dari mata manusia, tapi ada Allah SWT Yang Maha Melihat. Ia tidak bisa curang walau ia tengah seorang diri. Lihatlah, bagaimana mantapnya tauhid rububiyah seorang bocah cilik yang berpuasa.
Itulah hebatnya berpuasa. Betapa nilai-nilai ihsan sebagai derjat keimanan tertinggi bisa di praktikkan oleh seorang bocah cilik yang belum dibebani kewajiban berpuasa. Ia mampu menahan haus dan lapar sampai badannya menjadi sangat lemah dengan tujuan mampu menjalankan syariat Allah secara sempurna.
Ketika waktu berbuka tiba, dengan riang gembira bocah-bocah hebat tadi menuju meja makan. Ternyata, ia tidak langsung kalap menyantap berbagai hidangan yang tersedia. Ia terlebih dahulu ingat, ada Rabb yang telah bermurah hati memberikan mereka rezki untuk berbuka. Lidah kering dan lemahnya kemudian mengucap syukur seraya membaca doa berbuka, "Ya Allah, untuk engkau puasaku, dan kepada Engkau aku beriman, dan atas rezeki Engkau jua kami berbuka. Dengan rahmat Engkau jua wahai Rabb yang Maha Merahmati."
Tidak ada ibadah lain yang sedemikan hebat mengajarkan manusia akan makna sabar, syukur, dan ihsan. Sabar menahan lapar, haus, dan segala perbuatan yang akan merusak puasa dan syukur serta gembira atas nikmatnya rezki Allah untuk berbuka. Selama berpuasa, ia telah mempraktikkan bagaimana ihsan yang sesungguhnya.
Bagaimana tidak, orang-orang yang benar-benar menjalankan puasa tidak akan mendapatkan derajat takwa yang dijanjikan. Seperti didefinisikan Umar Bin Khattab, "Takwa adalah ketika amal ibadahmu sama, di saat engkau bersama-sama dan di saat engkau sendiri."
Seorang yang berpuasa tak akan berkhianat untuk makan dan minum ketika ia tengah sendiri. Itulah yang sebenarnya makna ihsan. Selalu yakin bahwa Allah SWT selalu menyaksikan segala perbuatannya. Jadi, ia malu untuk jatuh kepada maksiat padahal Allah tengah melihat.
Pantaslah Allah SWT berfirman dalam hadis qudsi-Nya, "Seluruh amal anak Adam untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya, puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya." (HR Bukhari Muslim).
Betapa tidak istimewanya puasa dari ibadah lain. Sesuatu yang halal saja mampu ia tahan selama Ramadhan, apalagi untuk menahan sesuatu yang haram ketika di hari-hari biasa. Ia sanggup menahan lapar dan haus karena Allah. Ia relakan dirinya yang sudah lemas lantaran lapar dan dahaga. Tak sedikitpun ia mau curang, walau abai dari pandangan manusia. Tidak ada keyakinan sedemikian mantap kecuali hanya bagi orang-orang yang berpuasa.
Jika nilai-nilai yang diajarkan puasa mampu diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sungguh akan membentuk menjadi insan muttaqin (manusia bertakwa). Bagaimana tidak, setiap aktivitasnya akan terpelihara dari maksiat karena ia yakin akan selalu dipantau Allah SWT. Ia sabar dalam segala ujian dan cobaan Allah dan ia bersyukur atas segala rezeki yang diberikan-Nya. Itulah hakikat takwa yang dijanjikan puasa.
Disarikan dari pusat Data republika