REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia siap meratifikasi konvensi pelarangan merkuri. Pada 10 Oktober 2013 lalu, Indonesia telah menandatangani Konvensi Minamata tentang merkuri di Kumamoto, Jepang. Penandatanganan konvensi ini merupakan bukti komitmen Indonesia untuk menerapkan Konvensi Minamata. Langkah selanjutnya yang perlu ditempuh yaitu dengan melakukan ratifikasi konvensi tersebut.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya meminta agar ratifikasi Konvensi ini dilakukan sebelum Conference of the Parties yang pertama (COP-1) Minamata Convention pada tanggal 24-29 September 2017 mendatang.
“Komitmen Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Minamata tentang Merkuri ini adalah bentuk tanggung jawab pemerintah untuk melindungi masyarakatnya, tidak hanya untuk generasi sekarang akan tetapi generasi yang akan datang,” ujar Siti Nurbaya.
Konvensi Minamata ini mengatur tentang perdagangan, produk dan prosesnya, pertambangan emas skala kecil, pengelolaan limbah merkuri, pendanaan, dan transfer teknologi. Konvensi ini akan segera berlaku (entry into force) pada tanggal 16 Agustus 2017, dikarenakan sampai saat ini sudah ada 58 negara yang meratifikasi Konvensi Minamata ini.
Merkuri pada prinsipnya ada di udara dan beberapa bahan yang ada disekitar kita, akan tetapi sumber terbesar (37 persen) berasal dari pertambangan emas skala kecil dan illegal. Banyak dari merkuri yang dilepaskan ke alam dihasilkan oleh Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK) ilegal.
Belajar dari tragedi Pencemaran Merkuri di Minamata, saatnya Indonesia menaruh perhatian serius terhadap peredaran dan penggunaan merkuri yang tidak bertanggungjawab. Hal ini berkaitan erat dengan maraknya pencemaran merkuri khususnya di PESK.