Kamis 22 Jun 2017 19:22 WIB

Mantan Perdana Menteri Sebut Israel Menuju Era Apartheid

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Dwi Murdaningsih
Pemukiman Yahudi Israel di Tepi Barat
Foto: REUTERS
Pemukiman Yahudi Israel di Tepi Barat

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV - Mantan Perdana Menteri Israel Ehud Barak memperingatkan negaranya saat ini tengah menuju era apartheid di bawah pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Barak, yang pensiun dari dunia politik pada 2013, mengatakan Israel tengah menghadapi sebuah pilihan.

"Jika kita terus mengendalikan seluruh wilayah dari Laut Tengah ke Sungai Yordan, yang menjadi tempat tinggal sekitar 13 juta orang, yaitu delapan juta orang Israel dan lima juta orang Palestina, dan jika hanya satu entitas yang memerintah di seluruh wilayah ini, yaitu Israel, maka tidak dapat dipungkiri akan adanya non-Yahudi atau non-demokratis," katanya kepada Deutsche Welle, dikutip The Independent.

Barak mengklaim, solusi satu negara yang memberikan otonomi dan hak memilih untuk Knesset bagi orang-orang Palestina di Tepi Barat, akan menciptakan negara binasional dengan mayoritas penduduk Arab. Hal itu juga akan menciptakan perang sipil permanen.

Pria berusia 74 tahun tersebut mengatakan, jalan yang ditempuh pemerintah Israel saat ini akan membawa negara itu ke arah apartheid. Menurutnya, permukiman Yahudi tidak dapat digunakan untuk mendukung solusi dua negara.

"Jadi kita harus mengubahnya," kata Barak, yang meminta pemerintah Israel untuk mengubah arah untuk melindungi "mimpi Zionis" dengan mendukung berdirinya dua negara.

Inggris dan negara-negara lain telah mengeluarkan peringatan mengenai pembangunan permukiman Yahudi yang terus dilakukan di wilayah Palestina dan telah dinyatakan ilegal menurut hukum internasional. Pemukim mendapatkan hak memilih untuk Knesset, namun warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat - termasuk di wilayah yang sepenuhnya dikelola oleh Israel - tidak dapat hak untuk memilih.

Kebijakan-kebijakan seperti membangun infrastruktur pemukiman, menggunakan sistem identifikasi, dan mengatur pembagian sumber daya yang dilakukan Israel, telah dibandingkan dengan era apartheid yang terjadi terhadap warga kulit hitam di Afrika Selatan. Sejumlah pihak tidak menyetujui perbandingan itu dan mengatakan undang-undang Israel tidak mendukung segregasi rasial seperti yang dilakukan oleh Afrika Selatan, tapi membedakan secara kewarganegaraan.

Politisi, pakar, dan kelompok hak asasi manusia yang membuat perbandingan tersebut dituduh telah mendorong anti-Semitisme dengan mendelegitimasi Israel.

"Ketika saya menjadi Perdana Menteri, kami mendapatkan dukungan seluruh dunia atas kebijakan kami. Karena jelas, di satu sisi kami masih membangun permukiman, tapi di sisi lain kami benar-benar siap untuk membuat kesepakatan dengan orang-orang Palestina dan melepaskan permukiman terisolasi," ungkap Barak.

Barak menjabat sebagai Perdana Menteri dari 1999 sampai 2001 dan merupakan pemimpin Partai Buruh Israel sampai 2011. Ia juga pernah memegang jabatan Menteri Pertahanan dan Wakil Perdana Menteri di dalam pemerintahan periode kedua Netanyahu.

Sebagai seorang tentara Israel, dia pernah bertugas sebagai Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Israel (ISF) dan memimpin operasi militer Israel dalam Perang Gaza 2008/2009. Operasi militer bernama Cast Lead itu berlangsung selama tiga pekan, serta menewaskan 13 orang Israel dan lebih dari 1.000 orang Palestina, termasuk anak-anak.

Pada Juni tahun lalu, Barak juga memberi peringatan bahwa Israel dapat menjadi negara apartheid. Dia menuduh pemerintah membuat agenda rahasia untuk menggagalkan pembentukan negara Palestina di masa depan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement