REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa adalah bentuk mekanisme diri seperti vaksin untuk memperbaiki atau menyucikan diri. Sejatinya tidak banyak puasa yang berhasil dilakukan manusia, karena kebanyakan manusia itu memaknai puasa itu hanya sekedar memindahkan jam makan yang pada akhirnya tidak berdampak apa-apa dalam diri manusia tersebut.
“Padahal seharusnya puasa itu intinya adalah upaya upaya transformasi. Upaya-upaya deradikalisasi adalah upaya-upaya transformasi mengenai bagaimana mentransformasikan diri dari pemahaman yang radikal menjadi tidak radikal. Dan itu salah satunya seharusnya bisa dilakukan dengan puasa.,” kata Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender / LKAJ, Prof Siti Musdah Mulia, Kamis (22/6).
Menurutnya, puasa itu sepenuhnya adalah upaya untuk perenungan atau merenungkan kembali keberadaan mengenai kita sebagai manusia. Oleh karena itu, Idul Fitri dimaknai sebagai kembali kepada kesucian diri seperti ketika kita baru diciptakan oleh sang pencipta. Karena salah satu fitrah manusia itu adalah tidak radikal.
“Seharusnya dengan puasa dalam kehidupan kita ini bahwa sepanjang tahun bagaimana manusia itu bisa bersih. Tuhan itu maha adil, dia menciptakan satu bulan khusus yang namanya bulan Ramadhan untuk kita sebagai wujud untuk membenahi, memperbaiki, untuk kembali merenungkan kehidupan selama 11 bulan lalu,” ujarnya.
Oleh karena itu menurut wanita kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 3 Maret 1958 ini, bulan Ramadhan ini adalah upaya untuk menyuci kan diri yang kemudian maknanya itu akan dapat dilihat oleh manusia tersebut lihat pada 11 bulan berikutnya.
“Jadi kalau ada manusia setelah Ramadhan kembali seperti biasa, ya berarti puasanya tidak memberikan makna yang berarti dalam hidup mereka. Karena saya melihat 11 bulan yang akan datang itulah yang akan menentukan kualitas puasa kita itu seperti apa. Karena kita dalam banyak hadist nabi juga dikatakan bahwa orang yang berpuasa yang mereka peroleh hanya lapar dan dahaga. Dan itu benar.” ujarnya