REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Pinckey Triputra mengatakan digitalisasi penyiaran merupakan peluang untuk menata ulang frekuensi penyiaran secara lebih terencana.
"Migrasi dari penyiaran analog menjadi penyiaran digital membuka peluang besar bagi pemanfaatan frekuensi untuk kepentingan pemerataan informasi di seluruh Indonesia," kata Pinckey melalui pesan tertulis diterima di Jakarta, Jumat (23/6).
Karena itu, Pinckey berpendapat, spektrum frekuensi yang digunakan untuk kepentingan penyiaran pada era analog seharusnya tidak digunakan sepenuhnya untuk kepentingan penyiaran pada era digital.
Kehadiran teknologi digitak memungkinkan kompresi siaran televisi hingga 12 kali pengecilan. Efisiensi itu menyisakan ruang sebesar 112 Megahertz dalam spektrum frekuensi yang dikenal di seluruh dunia sebagai digital dividend.
"Digitalisasi televisi akan melowongkan sebagian frekuensi yang nantinya dapat dialokasikan untuk penyediaan 'internet broadband' bagi seluruh masyarakat Indonesia," kata dia.
Bila itu dilakukan, pemerintah Indonesia berkesempatan mewujudkan mimpi penyediaan internet broadband bagi seluruh masyarakat Indonesia dengan murah dan merata. Pembangunan infrastruktur internet berkabel ke seluruh Indonesia hampir mustahil dilakukan secara merata dalam waktu 10 tahun ke depan karena kepulauan Indonesia yang begitu besar dan terpecah-pecah.
"Karena itu ketersediaan digital dividend adalah jawaban sesungguhnya bagi pembangunan jaringan internet broadband di Indonesia," ujar Pinckey.
Untuk mewujudkan harapan itu, sisa frekuensi yang muncul dari migrasi digital seharusnya tidak dikuasai lembaga penyiaran, melainkan diberikan kepada negara untuk dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat banyak, yaitu untuk kepentingan internet broadband.
Karena itu, Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia menyayangkan naskah revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran versi Badan Legislasi DPR yang menyatakan digitalisasi dilakukan secara 'alamiah', berbeda dengan naskah yang disusun Komisi I DPR.
Itu berarti setiap stasiun televisi swasta dipersilakan tetap menggunakan 8 Megahertz yang mereka kuasai di era analog dan bermigrasi secara alamiah dengan mengembangkan infrastruktur penyiaran digital masing-masing.
Untuk itu, Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia berharap Komisi I DPR dapat mempertimbangkan kembali naskah revisi Undang-Undang Penyiaran yang sedang dirancang.
"Revisi Undang-Undang Penyiaran harus berpihak pada kepentingan rakyat luas, bukan kepada kepentingan pihak tertentu," ujar Pinckey.