REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian merupakan garda terdepan dalam penanganan terorisme. Karena itulah polisi menjadi sasaran teror.
Namun, kata Pengamat terorisme yang juga pendiri Institute for International Peace Building, Noor Huda Ismail, saat ini, tidak hanya aparat saja yang harus terlibat aktif dalam upaya penanganan terorisme. Melainkan, dibutuhkan peran dari masyarakat sipil yang harus bergerak.
Peran warga sipil inilah yang menurutnya juga krusial. "Menjadi pelaku kekerasaan (teroris) itu tidak tiba-tiba. Ada sebuah proses 'radikalisasi'-nya. Oleh karena itu, masyarakat sipil dapat "memutus" proses itu dengan misalnya memberikan cara pandang tentang arti "jihad" yang tidak seperti para pelaku ini pahami," kata Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian ini, Selasa (27/6).
Dia menyebut, gerakan masyarakat itu seperti melalui social inclusion. Warga sipil pun bisa mengkaji secara lebih komprehensif tentang proses radikalisasi kelompok teror sehingga "terapi" terhadap kelompol teror nya tidak melulu melalui pendekatan keamanan.
"Jihad memang ada dalam Alquran dan sejarah Islam tapi kan tidak sembarang semua orang bisa menentukan jihad," kata kandidat PhD Politik dan Hubungan Internasional Monash University, Melbourne ini.
Menurutnya fenomena teror terhadap markas kepolisian saat ini termasuk buntut dari rontoknya ISIS di Irak dan Suriah. Para pendukung ISIS di seluruh dunia termasuk Indonesia mulai melakukan serangan teror di negara masing-masing.