REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) menegaskan penghormatannya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai simbol negara. Pada Ahad (25/6), perwakilan GNPF-MUI diterima Jokowi di Istana Negara, Jakarta.
"Bagi kami Presiden adalah simbol negara, patriotisme kami harus menghargai simbol negara. Saya memanggil Pak Presiden itu 'Pak Presiden yang terhormat', kalau kita tidak menghargai simbol negara berarti kita telah melecehkan simbol negara kita sendiri," kata Ketua GNPF-MUI Bachtiar Nasir dalam keterangan pers, Selasa (27/6).
"Pertemuan itu lepas dari puja-puji, Kesannya Bachtiar Nasir memuja-muji. Kita harus objektif, masa iya Presiden salah semua? Harus ada benarnya juga dong, kalau kita mau objektif," tambah Bachtiar. Bachtiar dalam pertemuan itu juga menyampaikan aspirasinya kepada Presiden soal diskriminasi umat Muslim seperti adanya anggapan kriminilisasi ulama dan sematan bahwa Islam itu intoleran, anti-Pacasila dan anti-kebhinekaan.
"Setelah kami sampaikan bahwa faktanya di masyarakat terasa, terutama adanya sematan-sematan terhadap umat Islam yang anti-Pancasila, intoleran, radikal, kok jadi begini? Kesannya kami yang disudutkan. Begitu juga kesan kalau umat Islam melakukan kesalahan cepat sekali prosesnya, langsung tangkap, penjarakan, tapi kalau di sebarang sana, bukan umat Islam, tolerasinya tinggi itu yang kami rasakan," jelas Bachtiar.
Namun, teknis penyelesaian masalah tersebut menurut Bachtiar tidak dibicarakan dalam pertemuan itu dan akan diselesaikan oleh Menkopolhukam Wiranto. "Presiden juga sudah mendelegasikan, sudah menginstruksikan urusan GNPF dan gerbong di belakangannya lewat menkoplhukam. Presiden menunjuk langsung setelah ini ada komunikasi yang baik dan tak tersumbat melalui Menkopolhukam," tambah Bachtiar.
Dalam pertemuan itu, menurut Bachtiar baik Presiden maupun GNPF-MUI merasa membutuhkan pertemuan lanjutan. "Saya hitung Presiden sempat tiga kali berkata 'Seandainya terjadi dialog di antara kita di 411, mungkin tidak ada 212, tidak ada ini dan ini. Kemudian Presiden bicara yang lain seperti program tanah untuk rakyat, bicara untuk menyeimbangkan ekonomi karena selama ini terlalu 'barat-minded'. Presiden berusaha ke Cina, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, bahkan juga telepon langsung dengan Turki untuk membangun kedekatan," ungkap Bachtiar.
Ia mengaku bahwa ada frekuensi pembicaraan yang terganggu antara GNPF-MUI dengan Presiden selama ini. "Ada frekuensi yang terganggu dalam dialog di tengah padahal Presiden merasa sudah berdialog dengan ulama karena Presiden mengatakan 'Ulamalah yang berani menegur saya jadi saya perlu mendengarkan ulama, jadi ini dialog jadi kebutuhan kita bersama," tambah Bachtiar.
Bachtiar berjanji akan melakukan sosialisasi kepada kelompok anggota GNPF dan anggotanya mengenai pertemuan dengan Presiden tersebut. "Nanti kita lakukan halalbihalal, dalam waktu dekat dari elemen Aksi Bela Islam. Bahkan lebih dari itu kita sedang koordinasi bagaimana halalbihalal antara ulama, umaroh, dan umat. Kepada teman-teman media kami akan buat konferensi pers lagi mengenai hasil halalbihalal Aksi Bela Islam nanti," jelas Bachtiar.
Seperti diketahui, GNPF-MUI menggerakkan massa untuk ikut dalam "Aksi Bela Islam" pada 4 November 2016 yang lebih dikenal dengan aksi 411, pada 2 Desember 2012 atau 212, lalu aksi 313 pada 31 Maret 2017. Aksi tersebut dilatarbelakangi tuntutan mereka terhadap tuduhan penodaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang akhirnya dinyatakan bersalah melakukan penistaan agama terkait Surat Al Maidah ayat 51 dan divonis dua tahun penjara.