REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia Arif Susanto menilai, keterbukaan Presiden Jokowi untuk bertemu dengan GNPF MUI mampu memecah kebekuan komunikasi politik. selain itu, kesediaan Presiden menerima GNPF-MUI juga mesti menjadi acuan bahwa perbedaan-perbedaan dapat diminimalisasi melalui dialog.
"Kesediaan Presiden menerima GNPF-MUI mesti menjadi acuan bahwa perbedaan-perbedaan dapat diminimalisasi melalui dialog, bukan selalu melalui pengerahan massa dan ultimatum yang terasa intimidatif," kata Arif saat dihubungi Republika, Rabu (28/6).
Arif berpendapat, selama ini, GNPF-MUI berkutat dengan model pengerahan massa yang bukan hanya tidak efektif, melainkan pula cenderung memperkuat polarisasi sosial di antara kelompok berlainan dalam masyarakat. Maka dari itu, pertemuan antara Presiden dengan GNPF MUI diharapkan mampu mengubah pola pengerahan massa tersebut.
Arif menambahkan, pada proses selanjutnya, pihak-pihak yang terlibat dalam ketegangan politik seiring Pilkada Jakarta perlu mendorong rekonsiliasi pada tataran elite maupun massa. Semua pihak perlu memastikan, tegangan tersebut berangsur surut, bukan malah meningkat eskalasinya hingga 2019.
"Setelah massa terus diombang-ambingkan dalam tegangan politik, penurunan tegangan itu harus diikuti oleh kerja keras elite politik untuk mengupayakan perbaikan kehidupan masyarakat," ucap Arif.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menerima kunjungan sejumlah petinggi GNPF MUI di ruang oval Istana Presiden, Ahad (25/6). Pertemuan itu digelar secara tertutup. Selain presiden, pertemuan tersebut juga dihadiri Menteri Agama Lukman Hakim dan Menkopolhukam Wiranto.