REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnain menyatakan, pertemuan antara GNPF dan Presiden Joko Widodo pada Ahad (25/6) harus dijadikan titik awal untuk menyetop diskriminasi terhadap umat Islam, baik dari segi hukum, ekonomi, dan atau lainnya. Namun yang terpenting adalah komitmen dan gerak nyata dari pemerintah untuk bisa menyelesaikan permasalahan umat saat ini.
"Jangan ada lagi diskriminasi terhadap umat Islam. Jangan ada lagi kriminalisasi terhadap ulama," kata Tengku saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (28/6).
Tengku juga menitik beratkan pada persoalan ketimpangan ekonomi di Indonesia. Menurut dia, sektor ekonomi di Indonesia hanya dikuasai oleh satu persen penduduk, atau sekitar seratus orang saja. Lalu pada sektor pangan, juga hanya dikuasai oleh tujuh orang, dan ini menunjukkan begitu tingginya ketimpangan ekonomi di Indonesia.
"Coba lihat di negara lain tidak kita temukan masalah seperti di kita. Makanya, saya berharap ada itikad baik dari Presiden untuk menyelesaikan masalah tersebut bersama-sama," kata Tengku. Karenanya, dia berharap, pertemuan tersebut bisa menjadi awal langkah menuju Indonesia lebih baik tanpa diskriminasi, kriminalisasi, dan ketimpangan.
Dalam pertemuan tertutup itu Presiden Jokowi didampingi Menko Polhukam Wiranto, Menteri Sekretaris Negera Pratikno dan Mentri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Sedangkan dari GNPF hadir Wakil Ketua GNPF KH Zaitun Rasmin, Kapitra Ampera (Tim Advokasi GNPF), Yusuf Marta (Anggota Dewan Pembina), Muhammad Lutfi Hakim (Plt Sekretaris), Habib Muchsin (Imam FPI Jakarta), dan Deni (Tim Advokasi GNPF). Selain membahas tentang masalah kebangsaan dan umat Islam. Presiden juga sempat membahas tentang kebijakan ekonomi di Indonesia.