REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed Al-Thani mengecam negara-negara Teluk yang mengajukan 13 tuntutan kepada negaranya karena enggan bernegosiasi. Menurutnya, hal itu bertentangan dengan prinsip hubungan internasional.
"Ini bertentangan dengan prinsip-prinsip yang mengatur hubungan internasional, karena Anda tidak bisa menyajikan daftar tuntutan dan menolak untuk bernegosiasi," ucap Al-Thani dalam sebuah pernyataan seperti dilaporkan laman BBC, Rabu (28/6).
Ia juga mengatakan bahwa Amerika Serikat (AS) telah setuju bahwa tuntutan tersebut harus masuk akal dan dapat ditindaklanjuti. Termasuk perlu untuk didiskusikan. "Kami setuju bahwa Qatar akan melakukan dialog yang konstruktif dengan pihak-pihak terkait jika mereka ingin mencapai solusi dan mengatasi krisis ini," kata Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson.
Kendati demikian, setelah menggelar pembicaraan dengan Tillerson di Washington pada Selasa (27/6), Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir mengatakan bahwa 13 tuntutan tersebut tidak dapat dinegosiasikan.
"Ini sangat sederhana. Kami membuat keputusan. Kami mengambil langkah kami dan terserah kepada Qatar untuk mengubah perilaku mereka. Begitu mereka melakukannya, semua akan berhasil. Tapi jika tidak, mereka akan tetap terisolasi," ungkap al-Jubeir.
Al-Jubeir menilai sebaiknya Qatar mengambil langkah yang tepat terkait tuntutan negara-negara Teluk. "Jika Qatar ingin kembali ke kolam (Dewan Kerjasama Teluk/GCC), mereka tahu apa yang harus mereka lakukan," ujarnya.
Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, Yaman, dan Bahrain telah menuding Qatar sebagai pihak penyokong kelompok teroris di kawasan tersebut. Kendati tuduhan itu telah dibantah Qatar, namun negara-negara tersebut tetap memberlakukan blokade dan embargo terhadap Qatar.
Negara-negara Teluk sendiri telah mengumumkan 13 tuntutan yang harus dipenuhi Qatar jika mereka ingin blokade dan embargo dicabut. Tuntutan tersebut antara lain menutup media penyiaran Aljazirah serta memutus hubungan diplomatik dengan Iran.