REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Puluhan ribu anak-anak terancam kelaparan di Somalia akibat akses untuk pemberian bantuan ke tempat mereka dikuasai kelompok militan, demikian dilaporkan sebuah kelompok amal Save the Children, Kamis (29/6).
Menurut Direktur Save the Children untuk Somalia, Hassan Noor Saadi pemberian layanan bagi mereka yang terancam kelaparan sangat sulit karena terdapat sekitar dua juta orang yang berada di wilayah yang dikuasai kelompok al Shabaab.
"Tidak mudah untuk memberikan bantuan kepada mereka," kata Noor Saadi.
Kelompok militan al Shabaab menguasai sebagian besar wilayah selatan dan tengah Somalia sampai 2011, saat mereka diusir dari ibukota Mogadishu oleh tentara Uni Afrika. Namun mereka sekali sekali masih tetap melancarkan serangan.
Pada 2011, sekitar 260 ribu warga Somalia tewas kelaparan akibat kekeringan, konflik dan kesulitan yang dialami kelompok kemanusiaan untuk menyalurkan bantuan. Curah hujan yang tidak menentu selama musim semi di Somalia, membuat tanaman tidak bisa tumbuh dengan baik, sementara persediaan bahan makanan terus menipis, membuat banyak keluarga yang tidak bisa memberi makan anak-anak mereka.
"Ketika binatang mati, tidak ada makanan, tidak ada susu, tidak bisa menghasilkan uang untuk membeli makanan," kata Saadi.
Badan PBB untuk urusan anak-anak UNICEF melaporkan, lebih dari 275 ribu anak-anak tahun ini berpotensi menderita kekurangan gizi parah yang bisa mengancam hidup mereka. "Jika anak-anak tersebut tidak diberikan makanan khusus untuk membantu pemulihan, kekebalan mereka akan berkurang dan mereka akan gampang diserang penyakit," kata Saadi.
"Bahkan mereka bisa tewas akibat diserang penyakit atau akibat kelaparan," katanya.
Sekitar 714 ribu warga Somalia terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat musim kering dan gagal panen sejak November 2016 lalu, menambah jumlah pengungsi sebelumnya sebanyak satu juta orang. Badan bantuan juga sedang berusaha keras untuk menyelamatkan nyawa pengungsi di wilayah perbatasan Somalia dengan Ethiopia.
Tim dari Medicins Sans Frontierers (MSF) telah menangani lebih dari 6.000 anak-anak yang mengalami kekurangan gizi parah di wilayah tersebut sejak Januari lalu. Jumlah tersebut sepuluh kali lebih banyak dibanding 2016. "Jumlah tersebut adalah yang tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir," kata juru bicara MSF Rosie Slater sambil menambahkan bahwa sebanyak 67 anak tidak bisa diselamatkan selama Juni 2016.