REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Keputusan Mahkamah Agung AS yang memberlakukan kembali pelaksanaan larangan perjalanan sementara yang dikeluarkan Presiden AS Donald Trump, telah menimbulkan kebingungan di beberapa negara di Timur Tengah. Sejumlah calon pengunjung merasa khawatir mengenai rencana perjalanan mereka ke AS.
Larangan itu berlaku selama 90 hari bagi enam negara berpenduduk mayoritas Muslim, yaitu Iran, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman, serta berlaku 120 hari untuk semua pengungsi. Perintah eksekutif Trump tersebut sempat diblokir oleh pengadilan rendah, setelah pertama kali diumumkan pada 6 Maret lalu dengan tujuan untuk mencegah terjadinya serangan terorisme.
Pada Senin (26/6), Mahkamah Agung memutuskan larangan perjalanan tersebut dapat kembali dilanjutkan, hanya bagi orang asing yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan penduduk AS. Keputusan tersebut membuat beberapa warga Timur Tengah bertanya-tanya apakah mereka bisa memasuki AS.
"Ini adalah kekecewaan besar bagi saya," kata seorang pria Sudan berusia 52 tahun di ibukota Khartoum.
Ia menyakini permohonan visa yang ia lakukan untuk mengunjungi kerabatnya di Amerika, akan ditolak. Pria yang menolak menyebutkan namanya ini mengatakan, dia tidak akan mengetahui hasil permohonan visa itu sampai Ahad (2/7). Saat itu Kedutaan Besar AS untuk Sudan baru dibuka kembali setelah serangkaian hari libur nasional.
"Saya telah melakukan perjalanan ke Amerika sebelumnya dan saya tidak tahu mengapa saya dicegah bepergian sekarang. Saya tidak melanggar hukum Amerika selama kunjungan saya sebelumnya," ungkapnya.
Maskapai penerbangan Timur Tengah juga belum menerima arahan dari AS terkait keputusan tersebut. Seorang sumber mengatakan, penerbangan ke AS akan terus beroperasi seperti biasa sampai ada pemberitahuan resmi yang diterima.
Maskapai-maskapai utama yang berbasis di wilayah ini meliputi Dubai Airlines, Turkish Airlines, dan Qatar Airways yang berbasis di Dubai. Warga Iran yang berusaha mendapatkan visa di Kedutaan Besar AS di Ankara, Turki, juga menyatakan keprihatinannya.
"Apa alasan di balik kebijakan ini? Sangat tidak jelas. Ini tidak adil," kata Masoud, seorang insinyur berusia 28 tahun yang mengajukan visa pelajar setelah diterima dalam program doktor di sebuah universitas di Dallas, Texas.
Seorang warga negara Iran lainnya, Nima (27 tahun) juga mengatakan, dia berharap bisa mendapatkan visa untuk melanjutkan pendidikannya di AS. "Saya hanya berharap bisa mendapatkan visa saya segera dan tepat waktu. Kami tidak tahu apa-apa, saya berharap mereka bisa menghilangkan Iran dari daftar negara yang dilarang," katanya.