Jumat 30 Jun 2017 08:24 WIB

Mereka yang Bertahan di Kampung Aquarium Ketika Lebaran

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Ratna Puspita
Susana Kampung Aquarium di Penjaringan, Jakarta Utara. (Ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Susana Kampung Aquarium di Penjaringan, Jakarta Utara. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Terik matahari terasa menyengat di Kampung Akuarium yang terletak di Jalan Pasar Ikan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Sejumlah warga masih bertahan dengan tinggal di rumah-rumah bedeng di atas puing-puing bekas gusuran.

Suasana siang hari pada empat hari setelah Hari Raya Idul Fitri 1438 H atau Kamis (29/6), rumah-rumah bedeng di Kampung Aquarium tampak sepi. Hanya ada bapak-bapak yang duduk di dalam mushola.

Seorang warga Kampung Akurium yang masih bertahan, Tarmi (53 tahun), mengatakan suasana Ramadhan dan hari raya tahun ini di Kampung Aquarium semakin terasa berbeda dibandingkan sebelum penggusuran. Tarmi menceritakan sejumlah kebiasaan Ramadhan dan Lebaran tetap bertahan sejak ia pertama kali tinggal di tempat ini sejak 1978.

Saat Ramadhan, warga akan shalat tarawih bersama. Warga secara bergantian memberikan makanan atau minuman ke mushala untuk berbuka puasa. Warga Kampung Akuarium juga masih menggelar pengajian rutin, yaitu Selasa untuk perempuan dan Kamis untuk laki-laki.

Kalau ada yang membedakan, ibu empat anak ini menuturkan, kegiatan tersebut dilakukan dengan sarana seadanya. "Tahu kolak, air teh hangat. Ada aja buat ke mushala," ujar Tarmi ditemui Republika di rumah bedeng miliknya, Kamis (29/6).

Tarmi menceritakan kondisi perekonomian warga mengalami penurunan sejak penggusuran. "Keadaan warga sini sekarang seperti ini, penghasilan pun nggak ada. Sedapatnya kan sekarang," kata dia.

Di dalam rumah Tarmi terdapat sepeda motor, gerobak dagangan nasi soto, peralatan dapur, kursi panjang dan meja yang terbuat dari papan, televisi, dan dipan untuk duduk.

Sambil merokok, Tarmi bercerita tentang masa-masa jaya berdagang nasi soto. Ia mengatakan nasi soto ayam, soto daging, dan soto babatnya laris hingga menghasilkan omset kotor Rp 3,5 juta per hari.

"Kalau sekarang, omset kotornya Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu," ujar dia.

Tarmi mengaku kesulitan mendapatkan lokasi berdagang sekarang ini. Dia pernah pindah ke Tambun, Bekasi, Jawa Barat, pascapenggusuran. "Enggak ada yang beli daerah sana," kata dia.

Padahal, Tarmi harus membayar biaya sewa rumah Rp 15 juta setahun atau Rp 1,25 juta per bulan. Dia pun memutuskan berhenti mengontrak di Tambun dan kembali ke Kampung Aquarium. "Usaha setahun juga enggak bakal bisa bayar lagi ke depannya," ujar dia.

Keadaan makin sulit bagi Tarmi untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi. Dia mengeluhkan penggusuran yang tanpa ganti rugi. Padahal, rumah itu baru direnovasi dengan anggaran Rp 200 juta.

Penghasilan yang minim membuat Tarmi harus berhemat ketika Lebaran. Biasanya, Tarmi memasak rendang, opor ayam, semur ayam, sambal goreng kentang dan hati, dan ketupat ketika Idul Fitri.

Ia juga menyiapkan kue-kue kering seperti nastar saat perayaan lebaran. "Kalau sekarang seadanya. Namanya nggak ada uang. Saya aja nggak ada hasilnya dagang ini, nggak laku," ujar dia.

Warga gusuran Kampung Akuarium ditawari untuk pindah ke rusunawa Marunda dan Rawa Bebek. Namun, Tarmi memilih bertahan di rumah bedeng. "Kalau di Marunda, saya harus mikirinbalik kuliah, saingan sama truk kontainer," kata dia. Marunda berlokasi dekat Pelabuhan Tanjung Priok sehingga banyak trruk peti kemas yang melintas pada jalur ke wilayah di bagian timur Jakarta Utara itu.

Tarmi juga keberatan membayar uang sewa rusun. Dia pun memilih bertahan dengan kondisi yang serba susah. "Orang digusur itu sudah tersakiti (seperti) hidup setengah mati. Hidup enggak, mati enggak," ujar dia.

Berbeda dengan Tarmi, warga lainnya, Dharma Diani (41), mengatakan dia bisa menyajikan opor ayam dan ketupat pada lebaran ini. Perempuan yang tinggal di Kampung Akuarium sejak 1995 ini juga menuturkan warga masih bersalam-salaman dan bersilaturahim dengan orang-orang tua ketika Idul Fitri.

Sesudah shalat hari raya Idul Fitri, warga akan berkeliling, bersalam-salaman, makan bersama. "Dua kali kita lebaran di puing, ya, begitu aja sih. Shalat Id, setelah shalat salam-salaman dan makan ketupat bareng," ujar Diani.

Namun, dia mengakui, kondisi perekonomian yang merosot menghadirkan suasana yang berbeda. "Yang tadinya punya rumah sekarang jadi enggak punya rumah. Yang tadinya perekonomiannya sedikit stabil sekarang makin jauh menurun," kata dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement