REPUBLIKA.CO.ID, CHICAGO -- Para pemuka komunitas Muslim di Amerika Serikat (AS) mengutuk perintah eksekutif yang dicetuskan Presiden Donald Trump. Perintah eksekutif tersebut terkait larangan terbatas bagi warga dari enam negara, semuanya mayoritas berpenduduk Islam, masuk AS.
Media Gulf Today, Sabtu (1/7), melaporkan, para tokoh masyarakat tersebut menilai regulasi tersebut akan memperuncing friksi sosial di AS. Padahal, AS sudah lama dikenal sebagai negeri yang terbuka dan maju berkat kontribusi para imigran.
Setidaknya sejak Januari 2017, Presiden AS Donald Trump telah mengajukan perintah eksekutif yang berisi penangguhan seluruh penerimaan pengungsi dan imigran dari tujuh negara mayoritas Muslim, yakni Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman.
Sejak Kamis (29/6) lalu, versi terbatas dari perintah eksekutif itu telah efektif berlaku, dengan mengecualikan Irak. Ini setelah Mahkamah Agung AS meloloskan kebijakan tersebut sampai Oktober mendatang.
Dalam pelbagai kesempatan, Donald Trump berdalih kebijakan ini untuk menjaga Negeri Paman Sam dari ancaman terorisme. Namun, sejak masa kampanye pemilihan presiden pada 2016, Trump kerap melontarkan retorika anti-Muslim, termasuk rencana melarang masuk mereka ke wilayah AS.
Karena itu, Masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA) mengecam keras pemberlakuan perintah eksekutif tersebut. ISNA merupakan lembaga advokasi terbesar bagi Muslim di Benua Amerika.
“Pernyataannya (Donald Trump) dan retorikanya telah menyebabkan banyak kesulitan bagi komunitas Muslim Amerika. Padahal, negara ini selalu merupakan negara inklusif dan toleran. Dan kami sebagai rakyat Amerika merasa berkewajiban untuk mempertahankan sifat-sifat itu,” kata Presiden ISNA Azhar Azeez, dalam konferensi di Chicago.
Konferensi tersebut dihadiri sekitar seratus orang. Salah seorang peserta, Arishaa Khan, mengaku tidak habis pikir mengapa pemerintah bersikeras memberlakukan aturan tersebut.
“Pelarangan itu akan menimbulkan masalah (di masa depan). Kawan-kawan saya, misalnya, kerap posting di Facebook sebelum mereka (lepas landas) di bandara, mereka memastikan kepada para pengacaranya untuk siap-siap (bila sampai menghadapi masalah keimigrasian begitu pulang kembali ke AS –Red),” ujar sosok berusia 27 tahun itu.
Azeez menambahkan, bagaimanapun, kebijakan Donald Trump itu juga berimbas bagi komunitas-komunitas non-Muslim, misalnya, Katolik, Kristen, hingga Yahudi. Sebagai buktinya, beberapa aktivis agama-agama itu turut hadir dalam konferensi ISNA ini.