REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertumbuhan sektor ritel yang melemah sejak awal tahun 2017 menandakan daya beli masyarakat Indonesia tengah menurun. Pengamat ekonomi dari CORE Indonesia, Muhammad Faisal menyebut penurunan daya beli tersebut salah satunya diakibatkan oleh akumulasi kenaikan harga-harga yang diatur pemerintah (administered prices) sejak awal tahun lalu.
Ia menjelaskan, pada Januari lalu, masyarakat dibebankan dengan kenaikan biaya urus SIM, STNK dan BPKB. Kemudian, sebagian kelompok masyarakat juga dibebankan dengan naiknya Tarif Dasar Listrik (TDL) akibat pencabutan subsidi.
"Secara akumulatif hal-hal tersebut menggerus daya beli masyarakat menengah ke bawah," ujar Faisal, saat dihubungi Republika, Senin (3/7).
Faktor lain yang memengaruhi daya beli masyarakat, lanjut Faisal, yakni adanya gejala menunda belanja di kalangan masyarakat menengah atas. Kalangan masyarakat tersebut lebih berhati-hati dalam membelanjakan dana mereka. Bukan karena tak punya cukup dana, tapi karena khawatir akan ada penarikan pajak baru yang dibebankan pada mereka.
Menurut Faisal, gejala menunda belanja ini muncul sejak pemerintah agresif menggenjot penerimaan negara dari pajak, seperti yang tergambar dari program tax amnesty. Selain itu, sambung dia, kebijakan baru dari pemerintah yang mewajibkan nasabah dengan tabungan di atas Rp 1 miliar melapor pada Dirjen Pajak juga telah memunculkan efek psikologis yang membuat masyarakat menahan belanja.
"Walaupun pemerintah secara riil tidak bisa lantas memajaki semua yang direncanakan, tapi masyarakat sudah merasa ada intimidasi," ujarnya.
Sebelumnya, Asosiasi pengusaha ritel Indonesia (Aprindo) mencatat, pertumbuhan ritel pada Mei 2017 hanya 3,6 persen. Angka itu bahkan lebih rendah dibanding pertumbuhan pada April 2017 yang tercatat 4,1 persen. Padahal, di akhir Mei ada momentum datangnya bulan Ramadhan yang biasanya disambut oleh masyarakat dengan berbelanja kebutuhan pangan.
Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengatakan, pada pekan pertama dan kedua Juni tidak ada kenaikan transaksi yang signifikan. Meski belum memiliki angka yang riil, ia mengaku mendapat laporan bahwa pertumbuhan ritel pada dua pekan pertama Juni lebih rendah dibanding periode yang sama di tahun 2016.
Menurutnya, dari gambaran kondisi di dua pekan pertama tersebut dapat diprediksi bahwa pertumbuhan ritel di bulan Juni 2017 akan lebih rendah dibanding Juni 2016.
Roy sendiri mengaku tak paham apa yang menjadi penyebab utama perubahan konsumsi di masyarakat yang berakibat pada melemahnya pertumbuhan industri ritel. Sebab, jika dilihat dari sejumlah indikator ekonomi seperti inflasi dan nilai tukar rupiah, semua dalam posisi yang aman.
"Saya kira ada hal yang tidak bisa dikalkulasi dengan angka. Hal yang menyangkut sentimen masyarakat," ujarnya.