Rabu 05 Jul 2017 08:30 WIB

Jika Deadlock, Presiden Harus Terlibat Bahas RUU Pemilu

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Andi Nur Aminah
Rapat Pansus RUU Pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, bulan lalu.
Foto: antara/wahyu putro a
Rapat Pansus RUU Pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, bulan lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Network for South East Studies, Muchtar Effendi Harahap menilai jika pembahasan RUU Pemilu lancar, presiden tidak perlu dilibatkan. "Sebaliknya, jika deadlock, justru presiden harus turun. Karena pelaksana Pemilu tanggung jawab Presiden, bukan Mendagri," kata Muchtar kepada Republika.co.id, Selasa (4/7).

Menurut Muchtar, isu utama yang membuat kemungkinan mengalami kebuntuan atau deadlock adalah mengenai presidential threshold. "Sejumlah parpol menuntut tanpa presidential threshold. Pemerintah  nuntut 20 hingga 25 persen. Ngototnya pemerintah ini diklaim karena Jokowi mau maju sebagai capres lagi," ujarnya.

Peneliti senior NSEAS tersebut menilai ada pandangan yang mengatakan bahwa Jokowi pribadi yang ngotot dengan adanya ketentuan presidential treshold. "Untuk membuktikan pandangan ini, tentu perlu Jokowi langsung berhubungan dengan DPR. Supaya ada kepastian apakah Jokowi yang ngotot (adanya) presidential treshold atau PDIP?," katanya.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo menilai pembahasan pemilu tidak perlu melibatkan presiden, sebab sudah dilakukan oleh menteri selaku wakil pemerintah. "Saya kira tidak harus ada presiden. Saya dengan Menkopolhukam dan Mensesneg juga sudah bertemu sekjen (partai) dan ketua-ketua fraksi baik informal maupun tidak," ujar Tjahjo menanggapi keinginan DPR menggelar rapat konsultasi dengan Presiden terkait RUU Pemilu, Senin (3/7).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement