REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usai lebaran Idul Fitri 1438 Hijriah, potensi penggusuran paksa akan meningkat. Hal tersebut ditengarai adanya 507 program senilai Rp 22.714.432.254 yang diduga mengimplementasikan penggusuran paksa di berbagai wilayah administratif DKI Jakarta.
Menurut data dari LBH Jakarta LBH Jakarta 507 program tersebut tersebar di 6 Kota dan Kabupaten dengan 91 program sebesar Rp 3.436.481.764. Kemudia, Jakarta Timur, 118 program dengan biaya Rp 5.571.626.941, Jakarta Selatan, 124 program, Rp 3.992.228.818, Jakarta Barat, 94 program, Rp 6.273.900.417, Jakarta Utara, 69 program, Rp 3.052.656.407 dan Kepulauan Seribu, 11 program, Rp 387.537.907.
Anggaran di atas belum termasuk anggaran operasional dan pengadaan barang dan jasa dari satuan pelaksana penggusuran paksa, yaitu Satpol PP, atau hibah untuk pihak-pihak lain yang sering dilibatkan dalam penggusuran paksa seperti aparat POLRI dan TNI.
“Besarnya alokasi anggaran pemerintah untuk melaksanakan penggusuran menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah provinsi memiliki alokasi anggaran yang cukup besar untuk menjelajahi solusi alternatif selain penggusuran paksa, misalnya dengan membangun pasar untuk menampung pedagang kaki lima ataupun merenovasi berbagai kampung di Jakarta yang kumuh,” ujar Alldo Fellix Januardy, pengacara publik LBH Jakarta, yang melakukan penelusuran APBD 2017 tersebut dalam siaran persnya, Senin (3/7).
Menurutnya, dari tahun ke tahun, angka penggusuran paksa cenderung meningkat usai lebaran. Karenanya diharapkan masyarakat berhati-hati dan selalu berkoordinasi dengan aparat pemerintah setempat, seperti lurah dan camat, agar dapat mengetahui apakah ada rencana penggusuran di wilayah tempat tinggal masyarakat.
"Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang transparan terkait dengan pelaksanaan program pemerintah dan relokasi masyarakat terdampak pembangunan tidak dapat dilaksanakan dengan cara-cara yang melanggar hukum, seperti dengan pendekatan kekerasan melalui penggusuran paksa,” tambahnya.
Berdasarkan penelitian dari LBH Jakarta, pada tahun 2015 dan 2016, telah terjadi penggusuran paksa di 306 titik di wilayah Jakarta. Penggusuran paksa tersebut memakan korban mencapai 13.871 keluarga dan 11.662 unit usaha. Mayoritas kasus-kasus penggusuran paksa tersebut sama sekali tidak memberikan solusi yang memadai bagi para korban.
“Tingginya angka penggusuran paksa menunjukkan bahwa Jakarta belum menjadi kota yang berhasil melindungi hak masyarakat miskin kota. Harapannya hal ini dapat diperbaiki di kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta berikutnya, Anies Baswedan,” urai Alldo.
Tantangan utama pemerintah, baik daerah ataupun pusat, adalah membentuk regulasi relokasi masyarakat terdampak pembangunan agar sesuai dengan standar HAM yang terdapat dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi oleh Indonesia sejak tahun 2005.