Kamis 06 Jul 2017 07:52 WIB

Penting Indonesia Pegang Mayoritas Saham Freeport pada 2021

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Ani Nursalikah
Petugas keamanan berjaga di Check Poin 28 sebagai akses keluar masuk kendaraan PT Freeport di Timika, Papua.
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Petugas keamanan berjaga di Check Poin 28 sebagai akses keluar masuk kendaraan PT Freeport di Timika, Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diingatkan bisa menaruh skala prioritas dalam menyelesaikan negosiasi dengan PT Freeport Indonesia, termasuk urusan teknis perpanjangan kontrak Freeport yang kembali memanas saat ini. Pengamat energi Marwan Batubara menyebutkan, prioritas utama yang harus dipikirkan pemerintah adalah bagaimana agar selepas Kontrak Karya (KK) Freeport habis pada 2021 mendatang, Indonesia memiliki mayoritas saham perusahaan yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) tersebut.

"Urusan lainnya bisa berjalan linier. Landasan hukum bisa melalui revisi UU MInerba atau melalui Perppu," ujar Marwan, Rabu (5/7).

Itu pun, lanjutnya, pengambilalihan saham Freeport oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau pemerintah dilakukan berdasarkan perhitungan nilai buku yang diberikan Freeport pada 2021 nanti. Cara ini menurutnya lebih fair memberikan keuntungan bagi pemerintah. Apalagi, Freeport sengaja mengejar kepastian investasi hingga 2041 agar nilai sahamnya melonjak tajam.

"Sementara kalau mau jual sekarang itu akan merosot kalau tidak dikasih perpanjangan," katanya.

Sementara itu, PT Freeport Indonesia mengungkapkan keinginannya untuk mendapat kepastian perpanjangan investasi hingga 2041 mendatang. Artinya, perpanjangan operasi ini berlaku hingga 20 tahun setelah Kontrak Karya (KK) Freeport habis masanya pada 2021 mendatang.

VP Corporate Communication PT Freeport Indonesia Riza Pratama menjelaskan, kepastian investasi hingga 2041 dibutuhkan bagi perusahaan untuk merancang proses bisnis jangka panjang. Apalagi, Freeport berencana untuk mengembangkan tambang bawah tanah mereka di bawah penambangan terbuka Grasberg senilai 15 miliar dolar AS.

"Freeport mengharapkan mendapatkan perpanjangan operasi sampai dengan 2041 sehingga kami dapat melanjutkan investasi tambang bawah tanah," ujar Riza.

Freeport juga berencana merampungkan pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan mineral tambang atau smelter mereka dengan nilai 2,3 miliar dolar AS. Tak hanya itu, Freeport juga bersedia mengubah rezim KK mereka menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) bila ada perjanjian stabilitas investasi yang memberikan kepastian hukum dan fiskal yang setara dengan Kontrak Karya. Artinya, Freeport ingin agar IUPK tetap memberikan "opsi" seperti KK selama ini.

"Kami bersedia konversi ke IUPK yang disertai perjanjian stabilitas investasi," ujar Riza.

Sebelumnya, pemerintah membuka opsi bagi PT Freeport Indonesia untuk mendapat izin operasi hingga 2041. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengungkapkan, meski kemungkinan perpanjangan hingga 2041 tetap terbuka bagi Freeport, namun pemerintah tetap mengacu pada pasal 83 Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang menyebutkan masa operasi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) bisa diberikan hingga 20 tahun, dengan perpanjangan dua kali 10 tahun.

Jonan menyebutkan, izin yang akan diberikan maksimal 20 tahun hingga 2041 namun dengan syarat akan ada peninjauan kembali pada 2031. Hal ini mengacu pada habisnya izin operasi Freeport berdasarkan Kontrak Karya (KK) yang diteken antara perusahaan dan pemerintah di tahun 1991. Namun belum jelas juga, apakah Freeport akan terus menganut kepada IUPK atau bakal kembali kepada rezim KK setelah masa IUPK Sementara habis pada Oktober tahun 2017 ini.

"Perpanjangan itu bisa 2 kali 10 (tahun). Ya memang tujuannya itu (dievaluasi kembali pada 2031)," jelas Jonan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement