REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah optomistis daya beli masyarakat yang sempat melemah sepanjang paruh pertama 2017 ini bisa segera pulih, terutama untuk kuartal kedua dan ketiga tahun ini. Pemulihan daya beli ini berkaitan dengan membaiknya kinerja perdagangan alias ekspor impor Indonesia yang terus mencatatkan capaian positif sejak akhir 2016.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengungkapkan, penurunan daya beli sejatinya merupakan imbas dari lesunya perdagangan Indonesia sejak 2012, lalu. Kinerja ekspor impor memang selalu mencatatkan capaian negatif. Hal ini juga tidak lepas dari anjloknya sejumlah harga komoditas pertambangan, perkebunan, sampai migas.
Namun, sejak akhir 2016, kinerja perdagangan Indonesia mencatatkan hasil positif. Terakhir, Mei lalu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, kinerja perdagangan pada Mei 2017 mengalami surplus sebesar 0,47 miliar dolar AS, naik dibanding surplus pada Mei tahun lalu sebesar 0,36 miliar dolar AS. Angka ini didapat dari realisasi nilai ekspor Mei 2017 sebesar 14,29 miliar dolar AS dan nilai impornya 13,83 miliar dolar AS.
"Kuartal 2-3 kami perkirakan akan pulih. Kami percaya situasi mengarah ke perbaikan," kata Darmin, Kamis (6/7).
Seperti diketahui, tingkat inflasi inti bulan Juni 2017 tercatat menjadi yang terendah sejak 2009, silam. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa inflasi inti pada Juni 2017, bertepatan dengan momen Ramadhan dan Lebaran, hanya sebesar 0,26 persen. Penurunan tingkat inflasi inti ini diyakini lantaran daya beli masyarakat yang memang sedang menurun.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, rendahnya nilai inflasi inti jelas memberikan gambaran penurunan daya beli masyarakat. Hal ini juga terbaca dari rendahnya konsumsi masyarakat di kuartal pertama tahun 2017 ini yang hanya tumbuh 4,93 persen dan pertumbuhan industri ritel atau minimarket yang tercatat hanya 3,8 persen pada semester pertama 2017. "Artinya daya beli memang rendah," ujar Bhima.
Namun, daya beli yang rendah tidak hanya berkaitan dengan komponen inti di luar administered prices atau harga yang diatur pemerintah dan volatile foods atau harga yang bergejolak. Bhima menyebutkan, daya beli yang lesu berkaitan dengan tingginya inflasi harga yang diatur pemerintah, terutama listrik dan air sejak awal 2017.
Menurutnya, justru komponen tersebut menjadi faktor utama yang menggerus daya beli masyarakat. "Di sisi lain, pendapatan masyarakat cenderung turun. Dilihat momen Lebaran juga masyarakat lebih menahan belanja. Kondisinya nyaris sama dengan 2008 lalu," kata Bhima.
Bhima melanjutkan, lemahnya daya beli masyarakat tentu mengusik perhatian pemerintah lantaran 57 persen ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Ia bahkan tak segan menyebut kondisi saat ini merupakan 'alaram bahaya' bagi pemerintah.
Pelemahan konsumsi rumah tangga bisa menjadi ganjalan bagi pemerintah dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,1 persen pada 2017 ini. Apalagi, harga komoditas ekspor di semester kedua 217 diprediksi akan mengalami penurunan dan harga minyak dunia masih fluktuatif. "Kalau begini, tumpuannya tinggal investasi dan ekspor. Sebetulnya dana masuk cukup banyak. Artinya minat investasi bagus, namun sektor riil belum tersentuh," ujar dia.