Sabtu 08 Jul 2017 04:21 WIB

PHK Mengancam, Pemerintah Evaluasi Pasokan Lapangan Kerja

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Budi Raharjo
Gerai waralaba 7 Eleven (sevel) di bilangan jl Salemba Jakarta nampak tutup, Rabu (28/6).
Foto: Republika/Darmawan
Gerai waralaba 7 Eleven (sevel) di bilangan jl Salemba Jakarta nampak tutup, Rabu (28/6).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kembali mengancam sektor industri. Hal ini berkaitan langsung dengan menurunnya daya beli masyarakat yang berujung pada sepinya permintaan.

Industri tekstil misalnya, dilaporkan mulai mengerem produksi lantaran permintaan yang meredup dibandingkan tahun lalu. Tak hanya itu, industri ritel juga lebih dulu secara terang-terangan mengungkapkan minimnya permintaan sepanjang semester I 2017.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin mengungkapkan, ancaman PHK tentu akan dievaluasi oleh pemeirntah. Namun, kalahnya pemain-pemain besar ritel di Indonesia merupakan gejala ekonomi keseluruhan yang bermula dari ketatnya kompetisi dengan pemain ritel lain.

Pernyataan Darmin ini merujuk pada tutupnya gerap 7-Eleven per akhir Juni lalu. "Bisa saja (ancaman (PHK), karena Indomaret, Alfamart itu perkembangannya bukan main. Jadi ya jangan melihat itu sebagai gejala ekonomi keseluruhan. Bisa saja itu gejala persaingan," kata Darmin, Jumat (7/7).

Darmin mengatakan, pemerintah perlu melihat lagi kecocokan antara ancaman PHK dengan ketersediaan lapangan kerja. "Harus dilihat betul, ada berapa sih persisnya," ujar dia.

Sebelumnya, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat penjualan produk tekstil di pasar domestik mengalami kelesuan dalam lima tahun terakhir. Puncaknya, kata dia, terjadi pada kurtal kedua 2017 di mana terjadi penurunan 30 persen dibanding kuartal pertama lalu.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan, tahun-tahun sebelumnya permintaan akan produk tekstil meningkat signifikan jelang Idul Fitri. Hal itu secara kasat mata dapat dilihat dari padatnya volume kendaraan yang menuju Pusat Grosir Tanah Abang jelang Ramadhan.

Namun, menurut Ade, sejak beberapa tahun terakhir peningkatan permintaan itu semakin berkurang. Pada kuartal kedua 2016 lalu, di mana terdapat momen Idul Fitri, masih ada kenaikan permintaan produk tekstil sebesar 10 persen. Namun, di kuartal kedua 2017, justru permintaan anjlok sangat dalam ke angka 30 persen.

"Ini Lebaran terburuk selama 30 tahun terakhir," kata Ade. "Menyamai angka tahun kemarin saja tidak, tapi malah turun 30 persen," ujarnya lagi.

Adapun angka penjualan produk tekstil di pasar domestik pada kuartal pertama 2017 tercatat mengalami penurunan sebanyak 3 persen.

Ade memprediksi penurunan itu disebabkan adanya kenaikan harga tarif dasar listrik yang membuat masyarakat mengalihkan dananya untuk keperluan tersebut. Karenanya, ia berharap pemerintah dapat memberikan stimulus pada industri tekstil dengan memberikan kepastian soal harga-harga energi.

Selain itu, Ade juga berharap pemerintah membenahi kebijakan fiskalnya, terutama terkait perpajakan. Sebab, ia memandang selama ini Dirjen Pajak hanya gencar mencari pajak dari industri hulu, tapi tidak ke industri ritel.

sumber : Center
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement