REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Polisi Prancis mengusir ribuan migran yang tinggal di trotoar di daerah utara Paris pada Jumat (7/7). Sebagian besar dari mereka adalah yang melarikan diri dari perang atau bentrokan di negara-negara seperti Sudan, Eritrea, dan Afghanistan.
Puluhan polisi dan kendaraan polisi datang sekitar pukul 5 pagi waktu setempat untuk membersihkan daerah itu. Menurut pejabat Paris City Hall Dominique Versini, jumlah migran telah membengkak menjadi antara 2.000 dan 2.500 orang.
"Sekitar 100 orang per hari tiba di daerah yang disebut sebagai Porte De la Chapelle di utara Paris," katanya kepada stasiun TV CNews. Disebutkan pula banyak dari para migran itu datang dari Afrika timur serta Timur Tengah.
"Kamp-kamp ilegal ini menimbulkan resiko keamanan dan kesehatan masyarakat bagi penghuni dan penduduk lokal," kata kantor polisi Paris dalam sebuah pernyataan. Sebanyak 350 polisi dan petugas lain dikerahkan untuk pengusiran tersebut.
Para migran dikawal ke bus untuk dibawa ke penginapan sementara seperti gedung gimnasium di Paris dan daerah di sekitar ibu kota. Rekaman langsung TV menunjukkan peristiwa itu merupakam proses evakuasi damai.
Menteri Dalam Negeri Gerard Collomb mengatakan, situasi semakin tidak terkendali dengan lebih dari 400 orang datang setiap pekan ke daerah itu. "Masalahnya selalu sama," katanya pada Kamis (6/7). "Pertama Anda mengatakan 'Saya akan membuka pusat penampungan untuk 500 orang' dan berikutnya yang Anda tahu Anda memiliki 3.000 atau 4.000 orang dan Anda harus menyelesaikan masalah ini."
Dia telah diminta oleh Presiden Emmanuel Macron untuk menghasilkan sebuah rencana untuk mempercepat pemrosesan permintaan suaka. Dalam waktu enam bulan, pihaknya harus memutuskan mana migran yang akan memperoleh status pengungsi dan pihak yang akan dikirim pulang.
Pusat penampungan migran di Paris telah penuh sesak, meski telah dibangun dua pusat penampungan baru. Pemerintah daerah juga telah melaporkan kenaikan jumlah migran dalam beberapa pekan terakhir, terutama jumlah migran yang berkeliaran di jalanan kota pelabuhan utara, Calais.
Calais, dari mana para migran berharap bisa mencapai Inggris, telah menjadi simbol kesulitan Eropa dalam menghadapi masuknya migran yang telah meninggalkan negara asalnya.