REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Wahana Lingkungan Hidup kembali mengajukan praperadilan terkait Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Kepolisian Daerah Riau terhadap 15 perusahaan diduga melakukan kebakaran hutan dan lahan.
Direktur Walhi Riau Riko Kurniawan dalam konfrensi pers di Pekanbaru Sabtu (8/7) mengatakan pengajuan ini dilakukan terhadap tiga perusahaan, yakni PT Riau Jaya Utama (PT RJU), PT Perawang Sukses Perkara Indonesia (PT PSPI), dan PT Rimba Lazuardi (PT RL).
Dia mengatakan pendaftaran permohonan praperadilan tersebut telah dilakukan Walhi Riau melalui kuasa hukumnya pada Rabu (21/6) lalu. Pengadilan Negeri Pekanbaru juga telah menjadwalkan sidang perdana yang akan dilangsungkan pada Senin (10/7).
Anggota tim kuasa hukum Walhi Riau Even Sembiring menyatakan sudah mempersiapkan diri lebih matang dari permohonan praperadilan sebelumnya. Walhi Riau akan membuktikan alasan Polda Riau menghentikan penyidikan dengan dalil tidak cukup alat bukti sama sekali tidak berdasar.
"Selain itu, terdapat cacat prosedur dan pengenyampingan bukti yang telah dilakukan oleh penyidik," ujar Even yang juga Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional Walhi.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru sekaligus kuasa hukum, Aditia Bagus Santoso, mengatakan dalam gugatan ini alasan penghentian penyidikan terkesan mengada-ada dan dipaksakan. Dia menyebutkan ketiga korporasi dan 12 lainnya terlibat perkara kebakaran hutan dan lahan yang perkaranya dihentikan oleh Polda Riau pada periode periode April sampai dengan Juni 2016 ini.
Menurut dia, keterlibatan perusahaan telah memenuhi unsur tindak pidana. "Khususnya terkait unsur kelalaian menjaga areal konsesinya yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dan kabut asap yang sangat luar biasa pada 2015 lalu," kata Aditia.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI Nur Hidayati menyampaikan dorongan membuka kembali perkara praperadilan ini dilakukan dengan meminta Negara agar melakukan penguatan substansi prinsip strict liability sebagaimana yang diatur dalam UU 32/2009. Ini agar dapat digunakan dalam penegakan hukum pidana lingkungan.
"Kebutuhan terhadap sebuah sistem hukum yang benar-benar memahami kejahatan lingkungan yang begitu kompleks, namun di sisi yang lain struktur peradilan kita belum optimal mengadili tindak kejahatan lingkungan hidup," kata Nur.
Karena itu, Nur menyatakan, WALHI menilai sudah sepatutnya Indonesia memiliki pengadilan khusus lingkungan hidup yang diharapkan dapat mewujudkan keadilan ekologis.