REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra berpendapat penerapan ambang batas pencapresan atau presidential threshold pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 berpotensi bertentangan dengan konstitusi. Sebab, pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) dilaksanakan secara serentak pada hari yang sama.
Yusril menyatakan pertentangan dengan konstitusi ini terkait dengan penetapan ambang batas. Dia mempertanyakan bagaimana menentukan ambang batas pencapresan kalau DPR belum terbentuk karena pileg dilaksanakan pada hari yang sama. Dia mempertanyakan bagaimana cara menentukan partai politik (parpol) atau gabungan parpol yang mempunyai 10, 15 atau 20 kursi DPR RI berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden?
Menurut Politikus Partai Bulan Bintang (PBB) itu, argumen para pendukung presidential threshold untuk menggunakan hasil Pileg 2014 sama sekali tidak berlandaskan hukum. Sebab, peta politik sudah berubah selama lima tahun. Karena itu, UUD 1945 mengamanatkan pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun.
Dia pun mengandaikan Mahkamah Konstitusi (MK) bisa mengeluarkan fatwa atau pendapat hukum terkait penerapan ambang batas pencapresan atau presidential threshold. Fatwa akan memudahkan penyelesaian perdebatan ambang batas pencapresan ini.
Sayangnya, dia mengatakan, berbeda dengan Mahkamah Agung (MA), MK tidak berwenang untuk mengeluarkan fatwa atau pendapat hukum. Karena itu, Yusril mengatakan, solusi isu krusial dalam Rancangan Undang-undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) ini harus dilakukan menggunakan filsafat hukum, teori hukum, dan logika hukum.
Jika ketiga jalan tersebut menyimpulkan hal yang sama, yaitu pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) dilaksanakan serentak pada hari yang sama, maka presidential treshold menjadi tidak relevan.
"Kalau dipaksakan, presidential treshold itu menjadi inkonstitusional," kata Yusril, dalam keterangan tertulisnya, Ahad (9/7).
Terkait kebutuhan fatwa MK, dia menerangkan, pendapat hukum bisa menjawab apakah putusan MK yang menyatakan penyelenggaraan pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) mulai 2019 berlangsung serentak tetap mengizinkan adanya ambang batas pencapresan. Apakah presidential threshold, berapapun angka persentasenya 10, 15 atau 20 persen masih sesuai dengan konstitusi setelah ada putusan tersebut?
"Atau, sebaliknya telah menjadi inkonstitusional?" kata Yusril.
Yusril menerangkan jawaban atas pertanyaan tersebut sangat penting karena berkaitan dengan konstitusionalitas Pemilu 2019 yang akan menentukan perjalanan bangsa dan negara lima tahun berikutnya. Apabila pilpres sesuai UUD 1945 maka negara ini bakal selamat, kendati ada pihak-pihak yang tidak puas.
"Namun, jika pilpres itu inkonstitusional maka hancur leburlah negara ini sebab pemimpin negaranya tidak mempunyai legitimasi untuk menjalankan roda pemerintahan," kata Yusril.
Yusril menambahkan jika presiden terpilih dalam mekanisme yang tidak sesuai UUD 1945 maka setiap orang berhak untuk membangkang terhadap pemerintah. Dia pun mengandaikan presiden dengan imam shalat.
Ketika orang yang tidak memenuhi syarat menjadi imam shalat namun memaksakan diri menjadi imam, makmum yang ada di belakang tidak punya kewajiban mengikuti iman tersebut. "Makmum boleh shalat sendiri-sendiri tanpa mengikuti imam yang tidak memenuhi syarat itu," kata dia.
Sayangnya, MK tidak punya kewenangan mengeluarkan fatwa.