REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syawal menandakan akhir dari bulan suci Ramadhan, tetapi juga mengawali ibadah agung lainnya, haji.
Seperti diketahui, berhaji ke Ka`bah di Makkah merupakan ritual yang sudah ada sejak masa Jahiliyah atau sebelum risalah Alquran turun.
Ritual berhaji dapat dikatakan sebagai warisan dari ajaran Nabi Ibrahim AS yang tidak lain leluhur bangsa Arab.
Adapun dalam masa pra-Islam, bulan-bulan haji merentang sejak Syawal, Dzulqaidah, dan hingga Dzulhijah. Ketika Islam datang, musim haji ditetapkan pada bulan-bulan yang dimaklumi (asyhurun ma'luumaat; lihat surah al-Baqarah ayat 197).
Termasuk di sana dan sekaligus mengawalinya adalah Syawal. Ihram, dengan demikian, dapat dilakukan semen- jak Syawal.
Islam dapat dikatakan membebaskan Syawal dari mitos-mitos yang kurang menyenangkan. Di antaranya adalah keyakinan dari masa Jahiliyah bahwa menikah pada bulan Syawal merupakan pantangan yang mesti dihindari.
Sebagaimana dilansir dari laman Nahdlatul Ulama (NU) Online, Rasulullah SAW menampik anggapan Jahiliyah tersebut.
Sebaliknya, seperti yang telah dipaparkan, Nabi Muhammad SAW sendiri menikah dengan Aisyah pada Syawal. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim yang merekam penuturan Aisyah, putri Abu Bakar ash-Shiddiq itu mengatakan, Rasulullah SAW menikahiku pada Syawal dan mengadakan malam pertama pada Syawal. Istri Rasul- ullah mana yang lebih beruntung ketimbang diriku di sisi beliau? Demikianlah besarnya rasa sayang Rasulullah SAW kepada Aisyah.
Terkait fenomena itu, Imam Nawawi dalam kitabnya, al-Minhaj fi Syarhi Shahih Muslim, menyimpulkan bahwa hadis tersebut menegaskan keistimewaan, alih-alih bualan kaum Jahiliyah, terhadap Syawal.
Lebih lanjut, Imam Nawawi mengatakan, Hadis tersebut mengandung anjuran untuk menikahkan, menikahi, dan berhubungan suami istri pada Syawal. Para ulama Syafi'iyah menjadikan hadis ini sebagai dalil terkait anjuran tersebut.