Senin 10 Jul 2017 15:50 WIB

OJK Sebut Perbaikan Kredit Macet BPR tak Sebentar

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Nur Aini
BPRS, ilustrasi
BPRS, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai perlu waktu yang tidak sebentar untuk membenahi buruknya rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indonesia.

Berdasarkan data Statistik perbankan Indonesia Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) industri BPR pada April 2017 mencapai 6,98 persen. Angka ini meningkat dibandingkan NPL pada Desember 2016 dan Januari 2017 yang masing-masing mencapai 5,83 persen dan 6,48 persen.

"Artinya memang memerlukan waktu untuk menangani NPL ini tapi ini juga sekaligus terkait dengan banyak hal seperti kondisi ekonomi dan sebagainya," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad di Jakarta, Senin (10/7).

Masih tingginya tingkat NPL BPR ini menurut Muliaman menjadi perhatian pengawasan dari OJK untuk menangani sisa NPL agar tidak mengganggu ekspansi. Kendati begitu,  kondisi ini tidak hanya terjadi pada industri BPR tetapi industri perbankan secara umum juga mengalami tekanan NPL yang cukup signifikan.

Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto menjelaskan, secara umum rasio NPL dalam industri BPR saat ini pada kisaran 4-6 persen. Namun, ia menilai rasio NPL tersebut belum menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan

"Kenaikan NPL kalau kita lihat data BPR sebenarnya naiknya tidak signifikan juga, antara empat persen sampai enam persen. Itu kita lacak data lima tahun seperti itu, bukan sesuatu yang mengkhawatirkan," kata Joko.

Ia memaparkan, rasio NPL BPR banyak disumbang oleh segmen kredit modal kerja yang porsinya hingga 50 persen. Selain segmen kredit modal kerja, NPL BPR juga disumbang oleh segmen kredit konsumsi dan produktif. Adapun dari segi sebaran, NPL BPR relatif merata yakni tersebar di seluruh kawasan geografis di Indonesia.

Terkait penyebab kredit yang menjadi macet atau NPL, kata Joko, NPL BPR disebabkan penurunan kemampuan membayar nasabah. Oleh karena itu, ia menegaskan agar industri BPR harus meningkatkan upaya pencegahan dan monitoring terhadap kredit. Dengan demikian, NPL industri BPR maupun secara individu dapat berada di bawah lima persen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement