Senin 10 Jul 2017 16:57 WIB

Indef: Kebijakan Swasembada Pangan Kementan tak Tepat

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Nur Aini
Petani mengumpulkan jagung hasil panennya di Desa Loka Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, Senin (6/3). Sebagian petani di daerah tersebut memanen jagung untuk bahan pakan ternak ayam yang dijual seharga Rp2.500 per kilogram.
Foto: Fabriawan Abhe/Antara
Petani mengumpulkan jagung hasil panennya di Desa Loka Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, Senin (6/3). Sebagian petani di daerah tersebut memanen jagung untuk bahan pakan ternak ayam yang dijual seharga Rp2.500 per kilogram.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menilai sejumlah kebijakan Kementerian Pertanian terkait swasembada pangan tidak tepat sehingga menimbulkan kerugian.

"Bukan hanya memberi kerugian anggaran negara yang dikeluarkan tapi juga menimbulkan kerusakan seperti Pajale (Padi Jagung Kedelai)," kata Ekonom Indef, Enny Sri Hartati kepada wartawan di Kantor Indef, Jakarta, Senin (10/7).

Ia mengatakan, Kementerian Pertanian (Kementan) fokus untuk mengalokasikan anggaran pada program peningkatan produksi Pajale yang memakan porsi 50 persen dari anggaran Kementan. Jika dibandingkan, total anggaran kedaulatan pangan melonjak hingga 53,2 persen dari Rp 67,3 triliun pada 2014 mencapai Rp 103,1 triliun pada 2017.

Bukan hanya itu, anggaran ketahanan pangan juga menyedot anggaran yang cukup besar. Anggaran ini tidak hanya berasal dari Kementan, tetapi juga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera) melalui program irigasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Sosial, dan anggaran nonkementerian/lembaga terkait kedaulatan pangan.

Ia menjelaskan, anggaran tersebut digunakan untuk peningkatan produksi dan produktivitas pangan yang dialokasikan melalui empat komponen, yaitu Kementan, Kemenpupera, subsidi pupuk, dan subsidi benih. Total belanja keempat komponen ini melonjak 61,7 persen dari Rp 40,2 triliun (2014) menjadi Rp 65 triliun (2017).

"Artinya empat komponen ini telah menyedot 59,5 persen dari total alokasi anggaran kedaulatan pangan," kata dia.

Seperti diketahui, pada awal Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 2014, mereka menargetkan swasembada sejumlah komoditas pangan strategis, antara lain padi, jagung, kedelai, dan gula dapat tercapai dalam waktu tiga tahun. Hal ini tertuang dalam program prioritas Nawacita.

Untuk itu anggaran besar tak segan-segan digelontorkan. Sayangnya, target swasembada di tiga komoditas tersebut tidak tercapai. Enny mengakui memang ada penurunan impor jagung, tetapi penurunan tersebut cenderung dipaksakan. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan pemerintah untuk menghentikan impor jagung melalui pelarangan. "Pasti turun kalau gitu," katanya.

Kementan menghentikan impor jagung secara mendadak yang berakibat 483.185 ton jagung impor sempat tertahan di pelabuhan. Hal tersebut menyebabkan harga pakan ternak melonjak sekitar 20 persen.  Sebaliknya, impor gandum justru meningkat drastis akibat terjadi kamuflase kebutuhan jagung yang tidak terpenuhi diganti gandum.  Begitu juga dengan beras yang diklaim telah swasembada. Berdasarkan data Pemberitahuan Impor Barang (PIB), Ditjen Bea Cukai menunjukkan pada 2016 ada impor beras sebesar 1,3 juta ton, dan Januari-Mei 2017 impor beras mencapai 94 ribu ton.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement