REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Pajak Handang Soekarno meminta agar ia bisa dipenjara di lembaga pemasyarakatan (lapas) Kelas I Jawa Tengah bila terbukti bersalah agar dapat dekat dengan anak-anaknya.
"Jika saya dinyatakan bersalah saya minta agar diberikan putusan atau izin dekat putri-putri saya di lapas kelas 1 Kedungpane, Jawa Tengah," kata Handang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (10/7).
Dengan demikian, meski dalam keterbatasan, Handang menyatakan, dia tetap dapat menjalankan tanggung jawab sebagai orang tua tunggal. "Mohon dijadikan bahan pertimbangan karena sifat penghukuman atau pemindaaan adalah pembinaan bukan penyiksaan berkepanjangan dengan menjauhkan saya dari tiga putri saya," kata dia.
Handang mengatakan dalam perjalanan hidupnya, ia telah mengalami kegagalan dalam rumah tangga. Putusan pengadilan menyatakan hak asuh ketiga anaknya yang semuanya perempuan ada di Handang.
"Anak yang paling besar lulus kuliah dan sedang cari kerja. Kedua masih kuliah dan yang ketiga masih sekolah menengah atas di Semarang. Meski sekarang saya sudah tidak bekerja dan tidak punya penghasilan dan memiliki kebatasan gerak tapi saya masih punya tanggung jawab dan membina dan selalu berkomunikasi," kata Handang.
Dalam perkara ini, Jaksa KPK menuntut Handang agar divonis 15 tahun penjara dan denda Rp750 juta subsider enam bulan kurungan karena menerima 148.500 dolar AS (setara Rp1,998 miliar) dari Ramapanicker Rajamohanan Nair untuk membantu penyelesaian masalah pajak yang dihadapi PT EK Prima (EKP) Indonesia.
"Saya mengakui telah melakukan kesalahan dan menyesali perbuatan yang saya lakukan. Saya sebagai manusia biasa juga bisa berbuat khilaf dan kesalahan," kata Handang.
Dia menambahkan perjalanannya sebagai PNS di Ditjen Pajak dimulai pada 1990 dan berakhir saat terjadinya OTT pada 21 November 2016. Selama 26 tahun masa kerja, Handang mengaku belum pernah dikenakan hukuman disiplin, ringan atau berat.
Karena itu, Ia menilai hukuman tersebut sangat berat karena bahkan lebih dari separuh masa kerjanya di Ditjen Pajak. "Hal ini sungguh sangat mengagetkan dan tidak terbayang karena tuntutan tersebut lebih dari setengah masa kerja saya. Hidup saya menjadi berantakan, misterius, fantastis, serta tidak jelas mau mengarah kemana," kata dia.
Dari perspektif sosial dan budaya, di mana masa hidup rata-rata usia manusia 60-70 tahun, Handang yang sudah berusia 50 tahun merasa tuntutan jaksa setara dengan tuntutan seumur hidup. "Saya hanya pegawai negeri biasa dengan jabatan setara eselon 3, bukan direktur, bukan dirjen atau menteri," ujar Handang.
Ia pun mengakui perbuatan penerimaan uang dari country director PT EKP Indonesia Ramapanicker Rajamohanan Nair. "Yang saya terima adalah uang dari perusahaan swasta," kata dia.
Handang mengatakan dia bukan melakukan korupsi dana bansos atau pembangunan sarana di wilayah apalagi dana bencana alam dan uang tersebut pun belum saya nikmati. "Dalam perkara ini, perkara kerugian negara tidak ada karena permasalahan PT EKP, belum memiliki kekuatan hukum atau in kracht," ujar dia.
Handang juga mengaku bukan pemrakarsa/ insiator penerimaan suap. "Dalam fakta persidangan, saya bukan penyebab PT EKP bermasalah. Saya juga bukan inisator mengurus PT EKP dan yang berinisiatif mencari saya adalah PT EKP dalam hal ini Ramapanicker Rajamohanan," ungkap Handang.
Sidang putusan akan dilangsungkan pada 18 Juli 2017.