REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj beserta sejumlah pengurus mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta untuk berdiskusi dengan pimpinan KPK terkait dukungan terhadap upaya pemberantasan korupsi.
"NU sudah ada kesepakatan dengan KPK untuk mengadakan jihad melawan korupsi sama juga dengan kami "MoU" dengan BNN jihad melawan narkoba jadi sebenarnya ini kewajiban kita semua," kata Said Aqil saat tiba di gedung KPK, Jakarta, Selasa (11/7).
Lebih lanjut, ia menyatakan MU memberikan dukungan moral pada KPK yang akhir-akhir ini dalam posisi yang sedang terdesak terkait Pansus Hak Angket KPK yang tengah bergulir di DPR saat ini.
"Sedang di"kelitikin", banyak dianggap tidak perlu atau kurang berfungsi. Kami tetap mendukung di belakang KPK, sampai hari ini negara butuh KPK karena ini harapan rakyat," tuturnya.
Terlepas dari Pansus Hak Angket KPK itu, kata dia, rakyat masih membutuhkan KPK karena bangsa dan negara masih belum mampu menegakkan hukum dengan fungsi yang ada seperti di Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.
"Makanya sampai sekarang KPK masih dibutuhkan, nanti kalau sudah "clear" betul tidak ada korupsi, baru KPK sudah tidak butuhkan," ucap Saiq Aqil.
Sementara itu, Direktur The Wahid Institute, Yenny Wahid yang juga hadir di gedung KPK menyatakan bahwa dirinya memberikan dukungan kepada KPK dan tidak ingin adanya pelemahan terhadap KPK.
"Justru kita harus memastikan fungsi dan peran KPK harus diperkuat sehingga cita-cita kita bersama bangsa Indonesia ini untuk tidak ada korupsi di negara ini bisa tercapai," kata Yenny.
Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR pada Rabu (19/4) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP Elektronik.
Pada sidang dugaan korupsi KTP-el pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-el.
Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa Novel.
Namun belakangan, tindakan Pansus di DPR RI yang melakukan sejumlah kegiatan dinilai untuk mencari-cari kesalahan KPK, misalnya meminta hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap KPK.
Kemudian, Pansus DPR menyatakan ada temuan terkait Sumber Daya Manusia (SDM) atau penyidik, sistem pengelolaan keuangan internal (SPI) serta penyadapan di KPK pada 4 Juli 2017.
Selanjutnya, pada 6 Juli 2017 Pansus DPR juga menemui beberapa narapidana kasus tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung, Jawa Barat, dan Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, untuk mencari laporan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan KPK terhadap para narapidana kasus tindak pidana korupsi.