Selasa 11 Jul 2017 19:28 WIB

Menengok Wacana Pemindahan Ibu Kota dari Aspek Arsitektur

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Ketua Asosiasi Pendidikan Tinggi Arsitektur Indonesia Yandi Andri Yatmo dari UI (tengah), didampingi Adib Abadi dari ITB (kiri) dan Ilya Fadjar dari UII saat menggelar konferensi pers di Hotel Alana, Sleman, Selasa (11/7).
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Ketua Asosiasi Pendidikan Tinggi Arsitektur Indonesia Yandi Andri Yatmo dari UI (tengah), didampingi Adib Abadi dari ITB (kiri) dan Ilya Fadjar dari UII saat menggelar konferensi pers di Hotel Alana, Sleman, Selasa (11/7).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Wacana pemindahan ibu kota jadi salah satu bahasan paling hangat beberapa pekan terakhir di Indonesia. Asosiasi Pendidikan Tinggi Arsitektur Indonesia (Aptari) turut memberi pandangan tentang wacana tersebut.

Ketua Aptari, Yandi Andri Yatmo dari Universitas Indonesia (UI) menekankan, kota itu pasti untuk ditinggali manusia. Karenanya, jika satu kota sudah tidak cocok untuk ditinggali manusia, kota itu tentu tidak lagi memiliki kelayakan untuk menjadi ibu kota.

"Nah, jadi tinggal dilihat Jakarta kayak apa," kata Yandi, Selasa (11/7).

Namun, ia menekankan kalau itu menjadi salah satu pekerjaan rumah paling penting bagi kota-kota besar di Indonesia, tidak cuma menitikberatkan Jakarta. Yandi meminta, kota-kota besar di Indonesia mulai lagi memberikan penilaian kepada dirinya sendiri, masih layakkah untuk ditinggali manusia.

Jika dilihat secara lebih eksplisit, Ilya Fadjar Yatmo menilai dari aspek ekologis, alam tentu memiliki daya tampung yang terbatas. Karenanya, menjadi tugas arsitek menciptakan keseimbangan atas proses pembangunan yang dilakukan, sebab pasti tidak seimbang dengan alam.

"Apalagi, dalam konteks kota-kota besar di Indonesia yang ada ketidakseimbangan yang lebih marak, timbangan ekologis sudah jomplang," ujar Ilya.

Sedangkan, jika dilihat dari aspek sosiologis, ia melihat setiap manusia sudah memiliki timbangan masing-masing. Itu berarti, lanjut Ilya, setiap manusia yang ada di masyarakat bisa mengidentifikasi apakah suatu kota itu sudah menuju ketidakseimbangan atau belum.

Aspeknya bisa dari gesekan sosial, ketersediaan sumber daya air, premanisme dan banyak aspek lain. Menurut Ilya, aspek-aspek itu sebenarnya menjadi peringatan alam kalau secara sosiologis kota itu sudah menuju ketidakseimbangan, sehingga tidak melulu didasarkan keputusan politis.

Senada, Adib Abadi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menyayangkan, jika pemindahan ibu kota sarat dilakukan dengan kebijakan politis. Karenanya, ia mengaku akan menuggu lebih dulu perkembangan yang ada, mengingat belum jelas pula apa yang jadi landasan wacana itu digulirkan.

"Kita belum tahu kebijakan apa yang melandasi itu, untuk sekarang kita masih menunggu perkembangan yang ada," kata Adib.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement