REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Pemilu Ahmad Riza Patria mempertanyakan sikap pemerintah yang bersiap menarik diri pembahasan Rancangan Undang-undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu). Pemerintah pun mewacanakan kembali ke UU Pemilu lama.
Riza mengaku heran terhadap sikap pemerintah yang justru ngotot soal presidential threshold. Pemerintah hendak menarik diri kalau besaran presidential threshold atau ambang batas pencapresan yang diputuskan pansus pemilu tidak sesuai dengan kehendak pemerintah, yakni 20 persen perolehan kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional.
Menurut Riza, pihak yang berkepentingan dengan presidential threshold semestinya adalah partai politik sebagai pihak yang mengajukan pasangan calon presiden. "Bukan pemerintah. Pemerintah sebagai eksekutif tidak punya hak dan kewenangan dalam hal ini," ujar Riza dalam diskusi bertajuk 'Ending RUU Pemilu' di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (11/7).
Menurutnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sejak awal pembahasan juga mengakui bahwa RUU Pemilu adalah rezim partai politik. Jika mengacu hal tersebut maka semestinya keleluasaan diberikan kepada partai politik dalam memutuskan RUU Pemilu.
Namun, ia justru menyesalkan dalam perjalanan pembahasan RUU Pemilu saat ini pemerintah justru yang tetap stagnan dan tidak mau menurunkan angka presidential threshold. Padahal sejumlah pakar, ahli hukum, termasuk tiga mantan hakim di Mahkamah Konstitusi (MK), menyatakan adanya presidential threshold dalam Pemilu serentak adalah inkonstitusional.
"Kami heran ini kok pemerintah bersikeras nggak mau turun, padahal pemerintah berkepentingan bahwa UU ini selesai," ujar dia.
Riza menilai, jika RUU Pemilu tidak selesai pembahasannya maka pemerintah juga akan dipandang negatif. Selain itu, pemerintah akan dipersalahkan karena tidak mampu menyelesaikan RUU Pemilu.
Pemerintah mengusulkan ambang batas pencapresan atau presidential threshold sebesar 20 persen perolehan kursi DPR. Usulan pemerintah didukung oleh PDI Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Nasdem.
Beberapa partai seperti PAN, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra menginginkan ambang batas tidak lagi diterapkan atau nol persen dengan alasan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 2019 diselenggarakan serentak.
Partai Hanura, didukung PKS, PKB, dan PPP, memilih jalan tengah, yaitu ambang batas 10-15 persen. Perbedaan ini membuat pembahasan RUU Pemilu yang diusulkan oleh pemerintah mencapai jalan buntu.