REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, menganggap masyarakat salah kaprah menilai transportasi online (daring). Masyarakat kerap menganggap seolah transportasi murah adalah transportasi online.
"Memang murah di awal operasi, tapi tidak menjamin murah selamanya," ujar Djoko, Selasa (11/7).
Djoko mengatakan, keberadaan transportasi online belum memberikan jaminan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan. Padahal, jaminan tersebut merupakan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
"Penyelenggaraan transportasi umum tidak dalam trayek, sudah diatur dalam Permenhub Nomor 28 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 46 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek.
Dalam SPM tersebut mencakup aspek keselamatan, keamanan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan," katanya.
Menurut Djoko, keenam aspek dalam Permenhub tersebut, sebagian besar tidak dapat dipenuhi oleh operator transportasi online. Ia menilai hal tersebut dapat merugikan konsumen jika suatu saat terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
"Misalnya, pengemudi dalam kondisi sehat fisik dan mental. Bagaimana operator taksi online mengetahui dan memastikan untuk menyatakan pengemudinya dalam kondisi sehat fisik dan mental sementara tidak ada pertemuan fisik," ujarnya.
Djoko juga mengingatkan waktu kerja pengemudi yang maksimal delapan jam sehari dengan sistem 2-1, yaitu dua hari kerja dan satu hari istirahat.
"Masih banyak lagi poin lain yang tertera dalam Permenhub tersebut yang tidak bisa dilakukan taksi online," ujarnya.
Djoko mengatakan sebenarnya online itu hanya sistem. Sebaiknya, taksi resmi yang memanfaatkan sistem tersebut. Ia menyesalkan pemerintah membiarkan taksi online menjadi operator.
"Pasti di kemudian hari akan banyak masalah dan akhirnya pemerintah pula yang disalahkan karena sudah mengiizinkan. Sekarang pun masalah sudah mulai muncul dari konsumen dan driver," ungkapnya.