REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas mengatakan, Muhammadiyah masih memerlukan kajian lebih dalam terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Ormas yang baru saja diterbitkan pemerintah. Namun, menurut dia, Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tersebut terindikasi kuat mengancam demokrasi.
"Peppu ini terindikasi kuat mengancam demokrasi. Ketika demokrasi sekarang ini justru perlu diperkuat siapapun, terutama pemerintah," ujarnya saat dihubungi Republika, Rabu (12/7).
Ia juga mengatakan, Perppu ini bertentangan dengan UUD 1945 sebagai puncak konstitusi di Indonesia, yang di dalamnya terdapat kebebasan berserikat, kebebasan menyampaikan pendapat, dan kebebasan berekspresi. Menurut dia, pemerintah tidak seharusnya membungkam dengan cara menerbitkan Perppu tersebut.
"Rezim sekarang ini kan justru memerlukan peran masyarakat untuk menggunakan hak kritisnya, jangan justru malah dibungkam. Ini terindikasi represif. Rezim ini terindikasi akan menggunakan cara represif dan ini pengulangan Orde Baru," ucapnya.
Bahkan, menurut dia, pengulangan rezim Orde Baru ini bisa ekstrem dari yang dulu. Karena itu, ia meminta agar Perppu ini diiuji di Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga dapat menyelesaikan perkara Ormas yang dituduh anti-Pancasila. "Perppu ini diuji saja lah di Mahkamah Konstitusi. Dengan harapan tentunya Mahkamah Konstitusi supaya ekstra hati-hati, ekatra jujur, dan ekstra ketat di dalam memeriksa perkara ini," kata dia.
Busyro menambahkan, seharusnya jika ada ormas radikal pemerintah tidak langsung memberangusnya, tapi sudah menjadi Ormas Islam lainnya untuk mengajak dialog. Begitu juga dengan Kementerian Agama bisa mengadakan dialog terbuka untuk menentukan apakah ormas tersebut bertentangan dengan aPancasila atau tidak.
"Taruhlah misalnya HTI dinilai radikal, apa salahnya dianggap dialog terbuka berkali-kali atau secukupnya. Ini rezim yang militeristik. Sementara TNI aja sudah tidak militeristik," jelas Busyro.
Berbeda dengan Muhammadiyah, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Muhammad Sulton Fatoni mengatakan, bahwa Perppu Nomor 2 tahun 2017 itu merupakan sebuah solusi untuk menghadapi tersebarnya paham anti-Pancasila.
Karena itu, kata dia, PBNU mendukung upaya pemerintah tersebut. "Soal terbitnya Perppu ini, tentu PBNU mendukung upaya pemerintah sebagai solusi atas problem keormasan yang sudah ada. Perppu ini menurut saya solusi untuk menghadapi semakin tersebarnya paham anti-Pancasila," ujar Sulton, Rabu.
Menurut dia, dengan adanya Perppu ini ormas yang bertentangan dengan Pancasila sudah bisa dibubarkan oleh pemerintah. Sementara, jika menggunakan undang-undang yang lama, maka proses pentahapan untuk membubarkan ormas yang bertentangan Pancasila membutuhkan waktu yang lama sekitar satu tahun. "Kasus Perppu ini saya melihatnya pemerintah menemukan solusi. Jadi ada satu ormas yang sudah lama dilihat aktivitasnya itu bertentangan dengan Pancasila," ucapnya.
Sulton menuturkan, selama ini pemerintah belum bisa melayangkan teguran atau peringatan terhadap ormas-ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, seperti halnya HTI. Walaupun, pemerintah selama ini telah memberikan teguran melalui suatu pernyataan.
Di sisi lain, lanjut dia, ormas tersebut masih tetap menjalankan aktivitasnya, sehingga celah itu dimanfaatkan oleh Ormas anti-Pancasila untuk melakukan aktivitas keorganisasian dan kepentingan politik. "Jadi Perppu ini solusi dari dua sisi itu," kata Sulton.