REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2/2017 tentang organisasi kemasyarakatan (Ormas) terdapat ancaman hukuman pidana seumur hidup. Hal tersebut nantinya akan berakibat pada bagaimana Ormas berekspresi.
"Saya kira itu (ancaman seumur hidup) dalam Perppu dapat menghambat ekspresi Ormas karena ancamannya sangat berat," kata Pengamat hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Suparji Ahmad kepada Republika.co.id, Rabu (12/6).
Sebaiknya, kata Suparji, proses penertiban Ormas dilakukan dengan cara-cara persuasif atau dialektif. Ia mengakui, seharusnya juga hukuman dalam Perppu itu lebih ringan atau tidak perlu sampai ada ancaman hukuman seumur hidup.
"Ya sebaiknya seperti itu karena kalau diancam (hukuman) seumur hidup, Ormas akan menjadi ketakutan," kata Suparji.
Ia menjelaskan, biasanya, ancaman hukuman seumur hidup itu diberlakukan untuk kejahatan-kejahatan berat. Kejahatan seperti korupsi, narkoba, dan makar menjadi contohnya.
Menurut Suparji lagi, kejahatan penodaan agama beberapa yurisprudensi tidak dihukum dengan penjara seumur hidup. Berbeda dengan tindakan separatis atau bermaksud mengganti ideologi negara. Ia mengatakan, hal itu sangat membahayakan."Ya itu bisa dihukum berat. Tapi, tidak sampai seumur hidup. Lebih baik begitu," kata dia.
Sanksi pidana seumur hidup dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2012 tentang Ormas terdapat dalam pasal 82 A. Bunyi pasal tersebut yakni: Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun. Sanksi pidana seumur hidup tersebut mengancam anggota dan/atau pengurus ormas yang dianggap melakukan tindakan permusuhan terhadap SARA serta melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia.
Baca juga: Menkumham Jelaskan Alasan Bubarkan Ormas Tanpa Pengadilan