REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Mehdi Hasan, wartawan kelahiran asal Inggris yang bekerja dengan stasiun televisi Aljazirah, untuk pertama kalinya mengunjungi Australia.
Mehdi Hasan, jurnalis kelahiran Inggris.
Mehdi yang sudah beberapa kali mendapatkan penghargaan jurnalistik mendapat undangan dari Crescent Institut untuk berbicara soal mengalahkan ekstremisme dan Islamofobia, di Melbourne Selasa malam (11/7) dan di Sydney, Kamis (13/7).
Tanpa disengaja, ia datang ke Australia beberapa hari setelah keluarnya laporan mengenai penyerangan yang bermotifkan Islamophobia di Australia.
Dalam laporan menyebutkan 80 persen korban dari kasus penyerangan tersebut adalah wanita Muslim berkerudung atau anak-anak. Ditemukan pula adanya keterkaitan antara serangan terhadap Muslim di Australia yang meningkat, saat media meliput kejadian teroris.
"Kita lupa korban terbanyak dari aksi teror yang dilakukan atas nama Islam adalah Muslim itu sendiri," ujar Mehdi saat membuka pemaparannya di Melbourne Convention and Exhibition Centre, di kawasan Southbank, Melbourne.
Mehdi mencontohkan salah satu korban meninggal dari serangan ISIS adalah anak perempuan asal Melbourne, Zynab Al Harbiya, usia 12 tahun pada akhir Mei 2017 lalu. Saat itu ia sedang berlibur ke Baghdad, Irak dan hendak membeli es krim untuk berbuka puasa ke sebuah tempat yang kemudian menjadi target serangan ISIS.
Mehdi menjelaskan kebanyakan warga Australia, dengan mengambil hasil laporan dari Australian National University (ANU), yakni hampir 49 persen khawatir jika mereka atau keluarganya akan menjadi korban serangan teroris. Padahal menurut data yang didapatkan oleh Mehdi, aksi teror di Australia menewaskan lima orang dalam 20 tahun terakhir.
"Lima terdengar banyak, tapi jika melihat jumlah tersebut dalam konteks, seperti yang dikatakan Profesor Greg Austin, pakar keamanan internasional dari University of New South Wales, Oktober lalu, lebih banyak warga Australia yang meninggal di tangan polisi dalam 10 tahun atau kekerasan rumah tangga dalam dua tahun terakhir, dibanding korban aksi teror di Australia," kata Mehdi yang mempertanyakan mengapa harus terlalu ketakutan akan serangan teror di dalam negeri.
Menurutnya, ketakutan yang berlebihan inilah yang menjadi tujuan dari kelompok-kelompok teroris, seperti mereka yang menamakan diri ISIS.
"Tujuan mereka adalah menebarkan rasa ketakutan, kecemasan, dan perpecahan. Para pembantu mereka di negara Barat adalah orang-orang seperti Donald Trump di Amerika Serikat atau Pauline Hanson di Australia, dengan berkoar-koar soal ketakutan terhadap Muslim, Islam, hukum Syariah, bahkan sampai urusan halal," jelas pria kelahiran 1976 ini.
"Seperti yang pernah disebutkan oleh Nicolas Henin, yang pernah disekap kelompok ISIS, pandangan kelompok ini adalah umat Muslim tidak dapat hidup berdampingan dengan orang lain. Setiap harinya mereka mencari bukti-bukti ini sebagai alasan untuk melakukan serangan. Dan orang-orang yang membenci Islam ini menjadi alasan kuat mereka," tambah Mehdi.
"Aksi teror yang mengatasnamakan Islam dan politikus yang anti-Islam sama-sama memiliki satu tujuan, yakni ingin membuat Anda takut, cemas, benci, dan marah."
Karenanya, menurut Mehdi, warga dunia sebaiknya tidak takut, tidak menjadi frustasi. Mehdi menganggap Australia memiliki potensi menjadi panutan untuk mencari solusi ini. "Australia bisa menjadi contoh bagi negara-negara barat, untuk urusan imigrasi dan integrasi, terlepas dari kegagalan, yang menurut Human Rights Watch, karena tidak dapat memenuhi standar pencari suaka," ujar Mehdi.
"Tetapi integrasi bisa berjalan di Australia... di saat pemimpin konservatif dari Inggris hingga Perancis dan Jerman menyatakan multikultur sudah tidak jaman lagi atau bahkan mati, pemimpin konservatif di Australia layak dapat pujian karena menyatakan Australia sebagai, 'masyarakat multikultur paling sukses di dunia'"
Usai memberikan pemaparannya, Mehdi berbincang-bincang dengan Antoniette Lattouf, wartawan senior ABC. Salah satu pembahasannya adalah apa yang perlu dilakukan oleh umat Muslim agar bisa mengalahkan ekstremisme dengan cara meredam Islamofobia.
"Di 2015, tujuan utama ISIS adalah untuk menghancurkan mereka yang tinggal di grey zone, sebutan bagi mereka yang tinggal berdampingan secara damai dengan Muslim, seperti di negara-negara barat," kata Mehdi di hadapan lebih dari 300 orang hadirin.
"Karenanya umat Islam perlu bersatu, lepaskan identitas dari aliran apa. Kita harus bersama mengalahkan ekstremisme dengan cara tunjukkanlah seperti apa Islam sebenarnya kepada tetangga, teman, bahkan orang yang tak kita kenal."
Dari data yang diterima Mehdi, 70 persen orang yang direkrut ISIS adalah mereka yang tak memiliki pengetahuan soal Islam, termasuk mereka yang baru memeluk masuk Islam atau mereka yang menemukan Islam setelah mengalami keputusasaan dalam hidupnya.
"Kita juga perlu membela dan berdiri bersama kaum minoritas lainnya, yang juga menjadi korban atau mendapat perlakuan tidak adil, termasuk mereka yang teraniaya."
Mehdi mengatakan umat Muslim sebaiknya ingat ada dua cara untuk memandang orang lain, yakni mereka bisa jadi bersaudara dalam seiman, atau memiliki derajat yang sama atas nama kemanusiaan.
"Karena di masa yang akan datang, anak-anak dan cucu kita akan bertanya apa yang kita lakukan saat Islam ramai dibicarakan di era 2000-an? Sama seperti yang kita mungkin pernah tanyakan pada kakek dan nenek kita soal apa yang mereka lakukan saat Perang Dunia meletus," katanya.