REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) meminta DPR menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2017 (Perppu Ormas) yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) pada sidang berikutnya. Tak hanya DPR, kalangan masyarakat sipil juga disarankan untuk mengajukan permohonan pengujian Perppu Ormas ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"PSHK mendorong DPR untuk menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2017 dalam masa sidang berikutnya. Selain itu, tanpa perlu menunggu proses pembahasan Perppu Ormas di DPR, upaya kalangan masyarakat sipil untuk mengajukan permohonan pengujian Perppu Ormas ke Mahkamah Konstitusi juga harus terus didorong," kata peneliti PSHK Miko Susanto Ginting dalam pesan singkat yang diterima Republika, Kamis (13/7).
Miko mempermasalahkan ketentuan dalam Perppu Ormas yang memungkinkan penjatuhan sanksi pidana terhadap setiap orang yang menjadi pengurus atau anggota ormas apabila melakukan pelanggaran. Ketentuan itu menurutnya sangat problematik karena memungkinkan negara untuk menghukum orang bukan karena tindakan pidana yang dilakukan, melainkan karena status keanggotaan di dalam sebuah ormas. "Situasi itu tentu berpotensi melanggar kebebasan berserikat warga negara yang telah dijamin oleh konstitusi," ucap Miko.
Miko menambahkan, semangat untuk menjaga falsafah Pancasila dan UUD 1945 haruslah didukung oleh seluruh elemen masyarakat. Namun, pengaturan penjatuhan sanksi terhadap ormas dan adanya pemidanaan yang tidak proposional akan membangkitkan sifat represif negara.
Seperti diketahui, Pemerintah telah resmi menerbitkan Perppu Ormas. Perppu ini diyakini sebagai tindak lanjut rencana pemerintah untuk membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
HTI dibubarkan pemerintah karena dianggap memiliki asas dan kegiatan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah kemudian beralasan, diterbitkannya Perppu tersebut karena UU Ormas belum secara komprehensif mengatur mekanisme pemberian sanksi yang efektif sehingga terjadi kekosongan hukum.