Kamis 13 Jul 2017 15:43 WIB

Ini Catatan Kritis Fraksi PKS Atas Perppu Ormas

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bayu Hermawan
Jazuli Juwaini
Foto: joko sadewo
Jazuli Juwaini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini memberikan catatan kritis atas hadirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 yang menganulir UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Salah satunya adalah terbitnya Perppu ini dilandasi atas banyaknya 'pasal-pasal karet'.

Bahkan dalam beberapa hal Perppu ini ia anggap mengabaikan proses peradilan. Dalam Perppu ini, yang dikhawatirkan sangat potensial merubah komitmen negara hukum (rechstaat) menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Karena itu ia menyampaikan keprihatinan atas terbitnya Perppu ini.

"Posisi Fraksi PKS sudah sangat jelas yaitu bersama Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan mendukung Demokrasi. Justru karena itulah, Fraksi PKS menyampaikan catatan kritis," jelasnya, Kamis (13/7).

Catatan kritis PKS atas Perppu Ormas ini, pertama pemerintah mengeluarkan Perppu dengan alasan UU 17/2013 tidak lagi memadai sebagai sarana mencegah ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. FPKS mempertanyakan, benarkah UU 17/2013 yang belum lama disahkan DPR bersama pemerintah itu sudah tidak memadai?

Fraksi PKS menilai kondisi kemasyarakatan yang berkembang saat itu kondisinya tidak jauh berbeda dengan saat ini. Terutama dalam pertimbangan penegasan dan penjagaan prinsip-prinsip demokrasi, serta akuntabilitas publik dalam proses pembinaan dan pembubaran ormas.

Sehingga wajar, menurut Jazuli, jika banyak pihak yang mempertanyakan dimana letak 'kegentingan yang memaksa' keluarnya Perppu. Kedua, Perppu menganulir proses pembatalan ormas melalui peradilan sebagaimana diatur dalam UU 17/2013, lalu diganti dengan secara sepihak pemerintah dapat membatalkan ormas.

Menurutnya, bukankah hal itu tidak malah mengesampingkan upaya untuk menghadirkan supremasi hukum. Justru sebaliknya cara pemerintah melalui Perppu ini nanti membuka peluang tindakan yang sewenang-wenang.

"Ingat komitmen kita adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan," katanya.

Ketiga, lanjutnya, Perppu memangkas tahapan pemberian sanksi dalam UU 17/2013 khususnya proses dialogis dan persuasif sebelum pembubaran ormas. Apakah pemerintah berniat menafikan proses ini dalam bernegara sehingga menjadi kemuduran ( set back ) dalam berdemokrasi. Padahal demokrasi yang matang menonjolkan proses dialog untuk sebuah konsensus/permusyawaratan daripada tindakan represif.

Keempat, menurut Jazuli, Perppu mengintrodusir pasal-pasal larangan bagi ormas yang bisa ditafsirkan luas (pasal karet). Seperti larangan menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Bagi Fraksi PKS pasal ini membuka peluang kesewenang-wenangan. Apalagi Perppu menghapus proses peradilan bagi ormas yang dinilai melanggar larangan itu. Lebih lanjut, Perppu mengatur pidana kepada setiap orang dari (anggota ormas) yang melanggar ketentuan larangan bagi ormas.

"Bagaimana sebuah aturan tentang ormas sebagai sebuah organisasi menyasar orang per orang anggota ormas. Bisa dibayangkan berapa banyak potensi kriminalisasi dari Perppu ini nantinya?," ujarnya.

Berangkat dari empat catatan ini, Fraksi PKS menilai wajar jika publik mempertanyakan adanya motif politik atas Perppu. Adanya upaya untuk menyasar kelompok tertentu, mengekang kebebasan berserikat dan berpendapat, serta adanya kecenderungan terbukanya peluang untuk bertindak represif dan otoriter.

Catatan kritis Fraksi PKS di atas, lanjut Jazuli, tentu pada waktunya harus dijawab oleh Pemerintah saat pengajuan pengesahan Perppu menjadi undang-undang di hadapan DPR.

"Kita tunggu saja argumentasi Pemerintah, mudah-mudahan hasilnya yang terbaik bagi masa depan bangsa dan negara. Pemerintah dapat menjawab kekhawatiran publik sebagaimana saya sebutkan," ucapnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement